Tuesday, January 16, 2007

Proses Pembelajaran dari Peristiwa Gempa dan Tsunami di Aceh

Pada tanggal 18 Januari 2005, Penulis mengikuti seminar yang diselenggarakan Universitas Katolik Parahyangan dengan tema “Mitigasi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami Aceh dan Sumatera Utara”. Seminar tersebut bertujuan untuk merumuskan hasil pemikiran strategis insan akademika dalam menghadapi ancaman bencana alam. Bantuan untuk penanggulangan bencana di Aceh dan Sumatera Utara tidak terbatas pada bantuan penanggulangan darurat. Insan akademika diharapkan dapat merumuskan aksi nyata ke depan berupa pemikiran mendasar bagaimana mengantisipasi bencana lainnya ke depan. Dalam seminar ini diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi penanggulangan akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Selain itu juga dapat dirumuskan tindakan mitigasi untuk mengurangi dampak bencana alam ke depan. Pemikiran atas tindakan mitigasi ini penting karena bencana alam gempa dan tsunami di Indonesia pasti akan terjadi tetapi kedatangan dan besarannya sangat sulit dan bahkan hampir mustahil diprediksi (Wuryanto). berbeda sekali dengan prakiraan hujan dan salju, fenomenanya biasanya dapat dihitung dengan ketelitian dalam satuan waktu minggu.

Mekanisme Terjadinya Tsunami

Berdasarkan jenisnya, gempa bumi terdiri dari gempa bumi tektonik, gempa bumi volkanik, dan gempa bumi runtuhan (Sampurno). Gempa bumi terbesar disebabkan oleh tektonik.Tsunami umumnya terjadi karena gempa bumi di dasar laut, tetapi tidak setiap gempa tektonik di dasar laut mengakibatkan tsunami. Tsunami besar biasanya terjadi bila gempa tektonik membentuk patahan (deformasi bumi) yang besar di dasar laut. Patahan tersebut disebabkan oleh gerakan lempeng tektonik yang bertumbukan. Lempengan yang lebih lemah turun ke bawah menghasilakn kekosongan volume yang menyebabkan air laut terhisap ke dalamnya. Oleh karena itu, terjadinya tsunami seringkali diawali dengan surutnya air laut hingga beberapa ratus meter setelah gempa bumi. Beberapa waktu kemudian ketika air laut akan kembali ke keadaan stabilnya, terjadi balikan gelombang dengan kecepatan yang sangat tinggi dan energi merusak yang sangat besar. Energi yang terjadi tergantung pada besaran luas patahan yang terjadi. Semakin dekat pusat gempa ke dasar laut, semakin besar luas patahan yang mungkin terjadi, dan semakin besar pula tsunami yang terjadi. Geomorphologi laut dan batimetri atau kedalaman laut dapat mempengaruhi kuat dan tingginya gelombang tsunami yang tiba di pantai (Rahardjo).

Gelombang tsunami yang disebabkan adanya perubahan permukaan dasar laut berbeda dengan gelombang laut yang disebabkan oleh angin. Gelombang tsunami memiliki panjang gelombang yang besar (dapat mencapai 100 Km) sehingga memiliki energi yang sangat besar, dengan kecepatan gelombang mencapai 800 Km/ jam. Intensitas tsunami dinyatakan dengan tinggi gelombang (run-up) yang dibagi dalam 6 skala (Rahardjo: Soloviev, 1978). Yang terendah sekala I ditandai dengan tinggi run-up 0,5 meter yang hanya terdeteksi pada catatan pasang surut sedangkan tertinggi skala VI dengan run-up 16 meter yang dapat menyebabkan kehancuran semua struktur bangunan dan tercabutnya pohon-pohon di tepi pantai. Bencana tsunami di Aceh termasuk dalam skala V s.d. VI dengan tinggi gelombang lebih dari 8 meter.

Daerah Rawan Tsunami di Indonesia

Gempa bumi yang besar biasanya gempa tektonik yang disebabkan pelepasan energi dari pertemuan antar lempeng bumi. Semula bumi adalah satu benua yang sangat luas (Rahardjo: Wegener). Lempengan benua dan samudra yang terjadi saat ini merupakan akibat aktivitas magma di dalam bumi. Sampai saat ini lempengan bumi terus bergerak. Indonesia merupakan wilayah dengan resiko dilanda gempa yang besar sebab terletak di daerah pertemuan tiga lempeng bumi yaitu lempeng benua (Eurasia), lempeng samudra (Indo-Australia) dan lempeng samudra Pasifik yang terus bergerak. Sewaktu-waktu pertemuan lempengan benua ini akan melepaskan energi potensialnya menghasilkan gempa tektonik. UNDP mengelompokkan Indonesia sebagai wilayah sangat rawan gempa, satu kelompok dengan Jepang dan Filipina. Berdasarkan peta wilayah rawan tsunami di Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) edisi tahun 2003, Sepanjang pantai Barat Pulau Sumatera, sebagian pantai Selatan Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Timor merupakan daerah rawan tsunami. Lokasi rawan lainnya terletak menyebar di pantai Barat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, pantai Utara Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, pantai Utara dan Barat Papua.

Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan termasuk dalam kesatuan lempeng Eurasia. Pulau Sumatera dan Jawa berada di ujung tepinya berbatasan langsung dengan lempeng Samudra Indo-Australia. Lempeng Samudra Indo-Australia terus mendesak lempeng Eurasia. Karena lempeng Eurasia lebih tebal maka lempeng Samudra Indo-Australia terdesak ke bawah membentuk suatu zona subduksi. Gempa Aceh 2004 yang menyebabkan tsunami dahsyat terjadi karena subduksi kedua lempeng benua Eurasia dan lempeng Samudea Indo-Australia.

Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh dan Sumatera Utara

Bencana alam gempa bumi di Aceh dan Sumatera Utara terjadi pada hari Minggu pagi tanggal 26 Desember 2004. Pusat gempa terletak berjarak 149 Km di sebelah Barat Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pada kedalaman 10-30 Km dari permukaan dasar laut dan termasuk jenis gempa tektonik. Sebagai perbandingan, gempa tektonik yang terjadi pada kedalaman 60 km sudah dapat menyebabkan tsunami. Gempa Aceh 2004 merupakan tipe mega thrusting earthquake yang disebabkan oleh aktivitas Zona Subduksi Sunda (Puspito). Besaran gempa Aceh 2004 mempunyai magnitido (Mw) berkisar antara 8.9-9.0 serta momen seismik (Mo) berkisar antara 1.8-3.6 x 10^29 dyne.cm. Dengan besaran gempa tersebut, gempa Aceh 2004 merupakan gempa terbesar ketiga dalam kurun waktu 50 tahun terakhir setelah gempa Chile 1960 (Mw = 9,5; Mo = 20 x 10^29 dyne.cm) dan gempa Alaska 1964 (Mw = 9,2; Mo = 8 x 10^29 dyne.cm). Ketiga gempa tersebut menyebabkan terjadinya tsunami yang besar, yaitu masuk dalam skala lebih besar dari V dengan run-up 5 – 25 meter.

Gempa dan tsunami Aceh 2004 telah menelan korban jiwa lebih dari 150.000 orang di 7 negara Asia bagian selatan dan Afrika bagian Timur. Lebih dari 100.000 orang korban berada di Aceh dan Sumatera Utara. Sebagai perbandingan, selama 1200 tahun Jepang telah mengalami 70 kali tsunami besar dengan korban jiwa lebih dari 100.000 orang
Kerusakan yang terjadi akibat gempa dan tsunami Aceh meliputi 10.000 Km2 di Provinsi NAD dan Sumatera Utara. Biaya yang dibutuhkan untuk penanggulangan Rp. 10 –15 triliun. Penderitaan korban bencana Aceh 2004 tidak hanya dirasakan pada saat terjadinya bencana, korban yang yang masih hidup akan merasakan dampaknya dalam waktu yang lama. Upaya pemulihan kehidupan masyarakat pascabencana diperkirakan memerlukan waktu 4 – 5 tahun (Kompas, 3 Januari 2005).

Penanggulangan Bencana Alam

Tahap penanganan dampak bencana dapat dilakukan sebagai berikut (Budihardjo dan Anwar): 1) penyelamatan dan evakuasi korban bencana, pencarian dan pemakaman jenazah para korban jiwa serta penyediaan bahan pangan, sandang, permukiman darurat dan obat-obatan, 2) pembersihan reruntuhan bangunan, pemulihan semangat hidup korban yang selamat, dan secara perlahan-lahan mengatasi trauma akibat bencana, 3) rehabilitasi infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi, 4) perlindungan untuk meredam terjadinya bencana melalui pengembangan rekayasa teknik, 5)menyusun mitigasi dalam upaya meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi, dan 6) melakukan persiapan menghadapi bencana melalui penyusunan metoda peringatan dini, menyiapkan jaringan komunikasi, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan. Tiga tahap pertama merupakan kegiatan pascabencana, sedangkan tiga tahap terakhir merupakan kegiatan persiapan untuk menghadapi gempa.

Mitigasi Bahaya Gempa dan Tsunami

Mitigasi bencana alam merupakan aksi lanjutan untuk mengurangi atau meniadakan resiko jangka panjang dari peristiwa bencana alam terhadap kehidupan manusia dan harta bendanya (Sampurno). Kegiatan mitigasi termasuk dalam tahap kegiatan persiapan untuk menghadapi gempa. Tiga langkah utama mitigasi dampak bencana adalah: 1) menginventarisasikan dan mengevaluasi karakter bencana potensial, 2) menginventarisakan dan mengevaluasi bangunan, infrastruktur dan lingkungan binaan, 3) antisipasi terhadap reaksi manusia/ korban bencana alam.

Kegiatan mitigasi terkait dengan bencana potensial antara lain mencakup:
· Pemetaan geologi dan topografi
· Pemetaan resiko gempa bumi dan tsunami Indonesia,
· Simulasi bahaya tsunami melalui pemetaan bahaya tsunami terhadap keselamatan jiwa manusia, misalnya dapat dipetakan menjadi: 1) penduduk mutlak harus menghindar dari zona dengan ketinggian air bah > 3m, 2) pada zona ketinggian air bah 1-3 m penduduk masih mungkin selamat bila berada di lantai atas rumah yang kokoh, 3) pada zona ketinggian air bah < 1 m penduduk dewasa masih mungkin selamat.
· Merumuskan perencanaan tata ruang yang mempertimbangkan bencana potensial sehingga pusat kegiatan manusia dapat diarahkan pada lokasi yang lebih aman.

Kegiatan mitigasi terkait dengan lingkungan dan hasil budidaya, antara lain mencakup:
· Memperkuat bangunan dan infrastruktur sesuai dengan kode bangunan, desain dan konstruksi. Jepang memiliki peraturan bangunan yang sangat ketat untuk melindungi rakyatnya dari bencana gempa dan tsunami. Ketika terjadi tsunami setinggi 30 meter melanda Pulau Hokkaido tahun 1993, hanya merenggut 293 korban jiwa.
· Mengatur pembuatan kanal banjir. Tsunami Aceh 2004 dapat masuk dengan cepat ke dalam wilayah Banda Aceh sejauh 10 Km dengan tinggi run up > 6 meter melalui sungai Krueng Aceh dan kanal banjir yang lebarnya 300 meter dan bentuknya relatif lurus.
· Mempertahankan lingkungan alam yang dapat melindungi lingkungan binaan dari bencana alam seperti bukit pasir pantai, terumbu karang, rawa-rawa, hutan pantai, kawasan hijau, dan unsur ekologi lainnya yang mampu mengurangi dampak dari kejadian bencana
· Membangun rute penyelamatan menuju tempat-tempat yang sudah disiapkan sebelumnya.
· Memasang sistem pemantauan yang komprehensif (tidak selalu memerlukan teknologi dan biaya tinggi) atas parameter fisik yang relevan dengan bencana yang dihadapi, misalnya pemantauan muka air di lokasi.
· Memasang sistem peringatan dini tsunami. Sistem ini sudah di pasang di kawasan Samudra Pasifik. Pemasangan sistem ini di Indonesia perlu dipertimbangkan dengan matang (Rahardjo: Sudradjat) mengingat biaya yang diperlukan sangat besar, berkisar 13 – 30 juta US dolar. Walaupun terjadinya gempa bumi dapat segera dideteksi, tetapi karena pantai Indonesia sangat dekat dengan sumber gempa bumi, maka waktu yang tersisa untuk evakuasi sangat singkat. Sistem peringatan dini sangat membantu bagi wilayah pantai yang jauh dari sumber gempa, misalnya Muang Thai, India, Srilangka dan Pantai Timur Afrika.
· Merumuskan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan kebencanaan. Mengembangkan penelitian dan penguasaan teknologi tepat guna yang sangat bermanfaat baik pada saat normal maupun saat terjadinya bencana. Pengusaan teknologi tepat guna tidak terbatas pada penguasaan substansinya tetapi perlu didukung keahlian menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penggunaan teknologi tersebut. Oleh karena itu penguasaan teknologi ini perlu didukung proses pendidikan melalui program studi khusus.
· Merumuskan dan melaksanakan pembangunan kelembagaan yang dapat berfungsi pada saat tidak terjadi bencana untuk menghadapi bencana yang mungkin datang, maupun saat terjadi bencana. Pembangunan kelembagaan perlu didukung uraian tugas yang jelas dalam setiap tingkat bahaya. Sampai saat ini Indonesia belum memiliki Rencana Tindak Darurat (RTD) tsunami. Walaupun karakteristiknya jauh berbeda, idea penyusunan RTD tsunami dapat mengacu pada pola penyusunan RTD Keruntuhan Bendungan (SK Menteri Kimpraswil No. 296/KPTS/M/2001) dan Dokumen Kebijakan Nasional Penanggulangan Banjir (Bappenas 2004) (Wuryanto).

Kegiatan mitigasi terkait dengan reaksi manusia mencakup reaksi saat dan setelah kejadian (Sampurno), yaitu antara lain:
· Reaksi saat kejadian: kegiatan pengungsian, pertolongan pertama pada kecelakaan, logistik, tempat pengungsian sementara.
· Reaksi setelah kejadian: kegiatan rehabilitasi kesehatan, perbaikan infrastruktur, penyediaan air bersih dan logistik, penelitian lokasi dan bangunan yang aman terhadap bencana, evaluasi kejadian bencana dan perencanaan kembali tata ruang.

Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Perencanaan rehabilitasi infrastruktur memerlukan persiapan waktu yang matang dan panjang, terutama menyangkut tata ruang dan tata guna lahan. Perencanaan rehabilitasi ini akan memerlukan berbagai disiplin ilmu mencakup geologi, teknik sipil, teknik arsitektur, planologi, ekonomi dan sosial. Rencana pembangunan kota baru sebaiknya dikaji ulang dengan seksama karena selain tidak mudah juga membutuhkan biaya yang sangat besar (Siswanto, Kompas 7 Januari 2005). Lebih jauh dijelaskan, lebih baik membangun kembali kota yang sudah ada dengan mempertimbangkan sistem pertahanan terhadap bencana, peletakan kawasan permukiman yang tepat, dan apabila diperlukan pemindahan penduduk di zona bahaya secara terintegrasi. Para ahli menganggap rencana pembangunan kota yang menjauhi laut tidak bijaksana karena akan menjauhkan masyarakat dari kehidupan sosial ekonominya. Yang diperlukan adalah bagaimana menekan dampak bila terjadi bencana, misalnya dengan sistem peringatan dini, pemetaan geologi, zona pengaman, pengurangan kepadatan penduduk di kawasan rawan, dan pembukaan akses yang diperlukan penduduk untuk menyelamatkan diri saat bencana.

Untuk menghambat tsunami, di lokasi terkena bencana Aceh 2004 harus dibuat zonasi berdasarkan ketinggian (Oetomo, Kompas 10 Januari 2004). Zona yang berada kurang 7 meter di atas permukaan laut merupakan daerah amat berbahaya. Daerah yang berada pada ketinggian antara 7 meter hingga 12 meter adalah daerah bahaya, antara 12 – 25 meter adalah daerah cukup aman, dan lebih tinggi dari 25 meter adalah daerah aman terhadap bahaya tsunami. Pembangunan, khususnya untuk fungsi vital misalnya pendidikan, perkantoran, permukiman besar, dan pusat kegiatan bisnis sebaiknya dilakukan pada zona aman yaitu di daerah dengan ketinggian > 12 meter. Di zona bahaya dapat saja dilakukan pembangunan tetapi dengan pengamanan yang memadai. Untuk zona sangat bahaya sebaiknya dijadikan kawasan pertahanan dari bencana serupa yang akan datang.

Bangunan gedung di Indonesia harus dirancang dan dibangun sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002. Menurut peraturan tersebut, Provinsi NAD termasuk dalam wilayah zona 5 – 6, artinya berada di wilayah mendapatkan resiko gempa tertinggi.

Daerah bencana tsunami Aceh 2004, merupakan daratan tanah aluvial yang terbentuk karena tanah endapan sehingga memiliki karakteristik tanah lunak. Di daerah ini bangunan pondasi sangat rawan terhadap bahaya likuifaksi, yaitu mekanisme kehilangan daya dukung tanah atau ambles pada saat gempa terjadi (Senggara, Kompas, 10 Januari 2004). Penggunaan pondasi tiang pancang untuk mendukung beban bangunan yang berat, misalnya bangunan bertingkat, harus secara cermat diperhitungkan terhadap beban gempa. Untuk mengurangi bahaya likuifaksi, penggunan pondasi langsung untuk beban bangunan yang lebih ringan, harus didirikan di atas tanah yang sudah dipadatkan terlebih dahulu.

Kehancuran prasarana di Aceh yang sangat besar pertama disebabkan oleh gaya gempa, dan kedua disebabkan oleh gaya yang disebabkan oleh terjangan tsunami. Kedua gaya penghancur ini memiliki karakteristik yang berbeda terhadap prasarana. Prasana yang ringan dan fleksibel lebih tahan gempa tetapi kurang tahan terhadap terjangan tsunami. Begitupula sebaliknya, bangunan yang kaku kurang tahan gempa tetapi lebih tahan terjangan tsunami. Karakteristik gaya perusak ini akan mewarnai pemilihan bangunan untuk pemukiman yang paling efektif dan efisien.

Tsunami sangat cepat melanda pantai di daerah sumber gempa. Meulaboh dan Banda Aceh terlanda tsunami dalam waktu kurang dari 15 - 30 menit. Seorang pembaca Harian Kompas menulis agar dibangun bukit-bukit di zona bahaya tsunami sebagai lokasi tujuan penyelamatan diri apabila terjadi tsunami (Kompas, 6 Februari 2005). Selain monumen berupa bukit, dapat juga berupa bangunan tinggi yang pondasi dan strukturnya dirancang kuat terhadap gempa dan terjangan tsunami. Banyak bangunan panggung dengan tiang kayu dan beton di beberapa wilayah di Aceh tidak runtuh pada peristiwa gempa dan tsunami. Pembelajaran ini menunjukkan struktur bangunan tinggi tersebut perlu dirancang dengan ruang terbuka di dasar dan lantai teratas yang dilengkapi dengan pintu akses yang selalu terbuka. Bukit dan bangunan tinggi penyelamatan tersebut dapat dijadikan monumen yang kaya fungsi. Selain untuk selalu mengingatkan bahaya bencana tsunami, sehari-hari dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka umum dan pada saat terjadi tsunami menjadi tempat yang paling cepat dapat dicapai untuk menyelamatkan diri. Alternatif lain adalah masing-masing rumah tangga dapat membangun ruang kecil yang kuat dan kedap air yang diankerkan ke dalam tanah. Alaternatif ini perlu ditunjang hasil penelitian sejauh mana pondasi bangunan tetap pada tempatnya dengan aman setelah terjadi gempa dan tsunami. Selain itu penelitian harus mencakup sejauh mana kekedapan bangunan dapat dipertahankan dan bagaimana cara memeriksanya agar pada saat diperlukan dapat berfungsi dengan baik. Menghadapi bahaya tsunami, tindak yang diperlukan sangat sederhana, yakni lari menyelamatkan diri. Dengan waktu yang sangat singkat, tidak mungkin berlari jauh. Oleh karena itu perlu dibangun tempat-tempat penyelamatan diri di lokasi terdekat di sekitar permukiman.

Sumber tulisan:
1. Najoan, Theo F, 2005, Peta Zonasi Gempa dan Tsunami, Prosiding Unpar, Bandung.
2. Puspito, Nanang T, 2005, Gempa Aceh dan Kegempaan di Sumatera, Prosiding Unpar, Bandung.
3. Rahardjo, Paulus P, 2005, Dampak Kerusakan Akibat Gempa Bumi dan Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam, Prosiding Unpar, Bandung.
4. Sampurno, 2005, Pokok Pokok Bahasan Gempa Bumi dan Tsunami, Prosiding Unpar, Bandung.
5. Surono, 2005, Mitigasi Bencana Geologi di Indonesia, Prosiding Unpar, Bandung.Wurjanto, Andojo, 2005, Tinjauan Tsunami dari Aspek Teknik Kelautan, Prosiding Unpar, Bandung.

No comments: