Tuesday, January 30, 2007

POLA PEMBINAAN TENAGA PROFESIONAL DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

PERMASALAHAN

Perubahan Paradigma
Sejak Pemerintahan Amerika Serikat menerapkan konsep-konsep pendekatan baru dalam penyelenggaraan pemerintahannya yang dikupas secara mendalam dalam buku Reinventing Government, banyak negara di dunia mengikuti jejaknya. Salah satu pilar perubahan yang penting adalah pendekatan peran pemerintah yang semula lebih ditekankan pada pelaku utama menjadi mitra dalam penyediaan kebutuhan masyarakat. Peran utama pemerintah lebih banyak pada pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan yang dalam UUJK disebut dengan pembinaan.
Dalam pemerintahan Indonesia, tugas pembinaan tersebut secara sistematis telah dilaksanakan sejak tahun 1970-an yaitu ketika dimulainya Pembangunan Lima Tahun pertama. Sesuai dengan persyaratan pemanfaatan dana bantuan luar negeri, banyak pekerjaan yang semula dikerjakan secara swakelola menjadi pekerjaan yang dikontrakkan kepada pihak swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara yang manajemen operasionalnya terpisah dari manajemen pemerintahan.
Sebelum era tahun 1970-an dan masa transisi era 1980-an, banyak tenaga ahli pemerintahan yang terlibat langsung sebagai pelaksana pekerjaan, karena memang pada saat itu tenaga ahli dari lingkungan swasta nasional masih sangat kurang. Keterlibatan langsung tersebut telah menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari lingkungan pemerintahan yang handal dan profesional pada masing-masing bidang. Sebagai contoh, pembangunan Jalan Lintas Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Jalan Tol Jagorawi, dan pembangunan ribuan meter jembatan di seluruh wilayah Indonesia telah menghasilkan pakar-pakar jalan dan jembatan di Direktorat Jenderal Bina Marga. Banyak dari pakar-pakar tersebut kemudian menjadi pemimpin di lingkungan pekerjaan umum baik di Pusat maupun di daerah.
Penyerahan sebagian besar pekerjaan kepada pihak swasta secara bertahap telah menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pihak swasta. Pada bidang keahlian tertentu, peningkatan keahlian yang diraih swasta jauh melampaui aparatur. Hal ini terjadi karena ada faktor persaingan diantara pelaku swasta. Mereka memiliki prinsip bahwa yang terbaik akan memiliki akses yang lebih tinggi pada kue pembangunan.
Kapasitas keahlian yang dimiliki aparatur dan swasta secara umum semakin jauh berbeda, khususnya dalam hal kemampuan untuk meningkatkan efisiensi. Tenaga ahli swasta berlomba-lomba mempelajari detail-detail pekerjaan keahlian untuk meningkatkan efisiensi. Di sisi lain keahlian aparatur semakin berkurang karena tidak memiliki banyak kesempatan untuk mencoba dan mengerjakan sendiri di lapangan. Semakin lama kesenjangan kapasitas keahlian tersebut semakin tinggi, dan malahan telah menimbulkan rasa frustasi ketidakberdayaan di lingkungan pemerintahan.


Kurangnya Publikasi terhadap Tenaga Berprestasi
Paradigma baru dalam penyelenggaraan pembangunan tidak secara total menenggelamkan proses penciptaan aparatur yang handal dan profesional di bidangnya. Jalan Tol Jagorawi yang dibangun pada tahun 1980-an melalui proses kemitraan masih menghasilkan tenaga ahli berkualitas. Hanya sayang bukti-bukti proses pencapaian kesuksesan tersebut tidak dipublikasikan dengan baik.
Bagaimana mereka telah bekerja di lapangan, bagaimana mereka bekerja sama bahu membahu dengan mitra kerja untuk menghasilkan pekerjaan jalan yang sampai saat ini masih yang terbaik di Indonesia, bagaimana mereka membina tenaga mudanya dan sebagainya. Sampai sekarang belum ada yang mendokumentasikannya dengan lengkap. Cerita sukses tersebut sesungguhnya sangat penting bagi generasi muda dan juga bagi pimpinan dalam merancang pola pembinaan kepada tenaga muda. Budaya kita masih memerlukan tokoh yang dapat diteladani. Tidak terbatas pada personafikasinya saja, tetapi juga mencakup hasil karyanya yang dapat dijadikan bahan kupasan bagi generasi muda.

Pengembangan Fokus Perhatian pada Efektifitas
Aplikasi paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan telah memakan korban. Kemampuan tenaga ahli aparatur dalam pencapaian efisiensi semakin berkurang. Namun secara sistem hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena kemampuan tersebut sangat meningkat di lingkugan swasta. Yang perlu dikhawatirkan adalah kesadaran kita yang sangat terlambat dalam mengantisipasi dampak dari perubahan pardigma di atas.
Dalam Reinventing Government ditekankan mengengai peran penting pemerintah untuk menjamin tercapainya manfaat yang setinggin-tinginya bagi masyarakat atas segala produk yang dicapai. Sesuai dengan fitrahnya yang mengejar keuntungan setinggi-tingginya, sektor swasta tidak akan pernah sepenuh hati menerapkan azas manfaat atau efektifitas. Oleh karena itu sektor pemerintah dituntut untuk selalu memimpin pencapaian efektifitas setinggi-tingginya.
Jauh sebelum Reinventing Government ditemukan dan diterapkan di Amerika Serikat, pada era 1970-an putra terbaik Departemen Pekerjaan Umum, Ir. Sutami dan Ir. Purnomo Sidi telah mengembangkan konsep dasar penerapan azas manfaat dalam penyelenggaraan infrastruktur. Pemanfaatan infrastruktur hanya dapat dinilai dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup aspek nonteknis. Pendekatan multidisiplin tersebut dengan baik dituangkan dalam konsep pendekatan wilayah, karena suatu wilayah dikatakan berkembang jika unsur-unsur pembentuk wilayah tersebut mengalami perkembangan atau dengan kata lain dapat merasakan manfaatnya.
Konsep pendekatan wilayah tersebut terus berkembang. Di Bina Marga berkembang konsep pengembangan jaringan jalan yang tediri dari jaringan jalan primer dan skunder, fungsi ruas jalan dari arteri sampai dengan lokal, dan pola penanganan jaringan jalan yang dilakukan secara hierarki dari tingkat nasional sampai perdesaan. Di Sumber Daya Air telah dikembangkan konsep pengelolaan sumber daya air terpadu yang tidak terlepas dengan daya dukung alam yang terbagi dalam Satuan Wilayah Sungai. Pada medio tahun 1980-an, Ditjen Cipta Karya menerapkan konsep pendekatan wilayah secara sistematis dan hasilnya sangat baik, sehingga penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya dapat didesentralisasikan ke daerah jauh sebelum UU Otonomi Daerah dikumandangkan pada tahun 1999.
Konsep pendekatan wilayah dalam penyelenggaraan infrastruktur sangat kuat. Salah satu bukti adalah ketika Departemen dipimpin oleh Ibu Ir. Erna Witular yang notabene datang dari lingkungan luar Departemen. Serta merta Ibu Menteri menerapkan konsep pendekatan wilayah secara total. Tapi ternyata penerapan yang radikal tidak selalu memberikan manfaat yang optimal. Setelah upaya penerapan yang radikal tersebut, timbul dampak pada pelaku penyelenggaraan IPU. Sebagan menganggap konsep pendekatan wilayah tidak cocok dalam penyelenggaraan IPU sehingga harus kembali kepada pendekatan sektor, sebagian lagi menyalahkan ketidaksiapan SDM Departemen yang tidak siap dengan penerapan pendekatan wilayah secara total.
Harus diakui kemajuan penerapan azas manfaat yang telah dicapai oleh para pendahulu di lingkungan Departemen tersebut kurang didukung pembinaan SDM yang tepat sesuai dengan kebutuhan kompetensi untuk mendukung keberlanjutan penerapan konsep tersebut. Kita sebagai aparatur masih berkutat di tataran pencapaian efisiensi padahal sektor swasta sangat kompeten di tataran ini. Kita belum bergeming untuk mengembangkan diri secara maksimal dalam menguasai tataran efektifitas. Dalam hal ini sektor swasta tidak dapat diharapkan karena mereka kurang tertarik pada tataran efektifitas. Secara sistem, tidak ada yang bisa disinergikan antara kemampuan aparatur dan swasta untuk mendukung penyelenggaraan IPU yang efisien dan efektif. Malahan yang terjadi saling mengurangi kapasitas karena bergerak di tataran yang sama. Sebagai dampaknya, hasil pembangunan IPU yang telah kita laksanakan kurang memberikan dorongan yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Hambatan dalam Pengembangan Tenaga Fungsional
Menjelang tahun 2000, dikembangkan jabatan struktural dan jabatan fungsional dalam organisasi Departemen. Jabatan struktural perlu didukung kemampuan manajerial sedangkan jabatan fungsional ke arah substansi keahlian. Salah satu tujuan dari pengembangan ke dua jabatan tersebut adalah untuk menyeimbangkan penguasaan tataran efisiensi dan efktifitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen. Secara konsep kedua jabatan tersebut sama pentingnya sehingga didukung sistem penghargaan yang sama. Namun ternyata jabatan struktural lebih diminati dibandingkan dengan jabatan fungsional.
Pejabat struktural masih terjebak dalam tataran efisiensi yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat fungsional. Akses kepada sumber daya secara organisasi memang menjadi tugas pejabat struktural. Namun disayangkan ketika harus melaksanakan suatu program atau kegiatan, sebelum ditawarkan ke pihak swasta seharusnya ditawarkan dahulu untuk dilaksanakan secara swakelola oleh pejabat fungsional. Hal tersebut tidak terjadi karena tidak tumbuhnya saling percaya di antara para pejabat. Malahan, masih banyak pejabat struktural yang tidak menyerahkan pekerjaan pengendalian teknisnya kepada pejabat fungsional. Oleh karena itu pejabat fungsional lebih banyak menjadi penonton atau aktif sendiri mengerjakan pekerjaan lainnya yang tidak terkait dengan unit kerja yang mewadahinya.
Proses tersebut terus berlangsung tanpa koreksi dari pimpinan, sehingga seolah-olah pembinaan kepegawaian tidak berjalan semestinya. Yang terjadi adalah saling menyalahkan. Pejabat struktural menganggap pejabat fungsional tidak proaktif, mengerjakan sesuatu selalu ada maunya. Di pihak lain, pejabat fungsional menganggap pejabat struktural takut direcoki kemudahan aksesnya terhadap sumber daya. Saling menyalahkan ini tentu saja sangat menrugikan organisasi dan proses pembinaan kepegawaian.

Kesenjangan Penghasilan Sesama Tenaga Profesional
Pada era pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abdurrachman Wahid, ada upaya-upaya sistematis yang sebagian telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur melalui perbaikan sistem penggajian. Sayang sistem tersebut tidak berlanjut karena penyeragaman kesejahteraan terhadap seluruh aparatur yang tingkat profesionalisme sangat complang memberatkan keuangan negara. Sulit untuk dibayangkan, untuk pangkat dan golongan yang sama, aparatur yang melaksanakan tugas rutin mendapatkan penghasilan yang sama dengan aparatur yang dibebani tugas berat sebagaimana profesional swasta bekerja. Setelah dikaji kembali, sistem penggajian aparatur yang seragam yang dapat bersaing dengan sektor swasta hanya dapat dilakukan apabila jumlah dan struktur pegawai sudah efisien dan efektif dan beban tugasnya setara untuk setiap jabatan. Bisa diperkirakan kondisi tersebut sulit untuk dicapai mengingat tingkat keberagaman setiap Departemen atau Dinas yang sangat tinggi.
Peningkatan penghasilan seperti yang telah diupayakan dengan menaikkan gaji pokok tidak selalu akan memberikan kepuasan bagi aparatur. Yang sering menjadi pertanyaan adalah nilai relatif penghasilan yang diterima dibandingkan dengan profesional lainnya. Banyak yang hanya bisa menerima nasib sebagai aparatur dan hal itu baru disadari ketika akan menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Ternyata mereka tidak mampu untuk membayar uang masuk ke perguruan tinggi negeri.
Kesenjanjangan penghasilan juga terjadi di level calon pegawai baru. Mereka mendapatkan penghasilan pertama yang nilainya tidak cukup untuk membayar pondokan sederhana, makan dan transportasi sehari-hari. Banyak diantara mereka yang masih menggantungkan pada bantuan orang tuanya. Peristiwa ini bukan baru terjadi pada masa sekarang, tetapi sejak dulu pun sudah terjadi. Yang berbeda adalah dulu masih termotivasi karena ada harapan perbaikan ketika melihat seniornya yang cukup makmur, tetapi sekarang mereka melihat para seniornya pun menghadapi permasalahan keuangan yang sama beratnya. Tidak mengherankan jumlah calon PNS yang mengundurkan diri cukup signifikan karena mendapatkan kerja yang lebih baik di tempat lain.

Perubahan Tingkat Kepentingan Pembangunan Karakter
Apakah rasa kebanggaan sebagai PNS Departemen PU pada pegawai baru saat ini sama dengan dahulu? Dahulu melaksanakan tugas survey ke lapangan sangat membanggakan karena kita datang membawa keahlian yang belum banyak dimiliki di daerah. Kita datang membawa pemikiran untuk memecahkan permasalahan di lapangan. Kita bisa datang ke lapangan karena hampir sebagian besar proyek besar dibiayai dari Pemerintah Pusat, sehingga kita dapat melakukan pengendalian proyek termasuk masalah teknis.
Kondisi sekarang sudah berbeda. Aparatur di daerah sudah banyak yang mampu bekerja secara mandiri. Berbeda dengan dahulu, para penanggung jawab lapangan sekarang lebih dekat kepada pembina di daerah, walaupun sampai saat ini biaya pengawasan teknis pekerjaan fisik yang dibiayai APBN masih dari Pusat. Kedatangan aparatur Pusat ada yang menganggapnya sebagai gangguan bukan sebagai bantuan teknis.
Peran apa yang dapat dikembangkan oleh aparatur baru sebagai tenaga ahli profesional? Jika hal ini dapat dijawab dengan pas, mungkin dapat dikembangkan pembangunan karakter aparatur yang sesuai dengan kondisi yang berlaku.

Ketertutupan Sistem Pembinaan dalam Jalur Karier Strategis
Dalam perjalanan karier seorang aparatur Dep. PU terdapat beberapa jabatan karier yang sangat mempengaruhi proses pendewasaan diri. Posisi jabatan tersebut anatara lain sebagai Project Official, Project Assistance, Ketua Pelelangan, Project Manager, Jabatan Eselon IV, III dan II. Belum ada sistem pembinaan terbuka yang mampu mengoptimalkan jalur karier strategis tersebut menjadi wadah pembelajaran yang efisien dan efektif sekaligus sebagai ajang penilaian pengembangan karier yang bersangkutan. Mungkin sudah ada sistem yang tertutup, namun tanpa mengetahui standar kerja yang terdapat dalam sistem yang tertutup tersebut, pelaku tidak terdorong untuk memenuhi tuntutan standar tersebut.
Selain ketertutupan sistem pembinaan karier vertikal, secara horizontal pun kurang terbina dengan baik. Tour of duty adalah salah satu sistem pembinaan karier yang sangat baik untuk mengembangkan wawasan dan kompetensi pegawai. Di Jepang, seorang pegawai harus berpindah posisi dalam waktu tiga tahun. Penerapan sistem tour of duty yang baik di Indonesia terdapat di lingkungan ABRI. Dan hasilnya, bebeda dengan di lingkungan pegawai negeri sipil, sampai sekarang ABRI tidak pernah mengalami krisis kekurangan calon pemimpin.

Masa Kekosongan Penambahan Tenaga
Sejak dua dekade sebelum tahun 2005 dapat dikatakan Departemen PU tidak menerima pegawai baru, kecuali beberapa sebagai pengganti tenaga ahli yang pensiun. Pada medio tahun 1990-an, kelompok pegawai yang diterima satu dekade sebelumnya rata-rata sudah menduduki jabatan eselon IV atau tenaga fungsional setara. Pejabat eselon IV periode ini tidak didukung staf teknis yang cukup karena penerimaan pegawai sangat terbatas.
Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an pekerjaan IPU masih cukup banyak. Kebijakan atas dana pinjaman luar negeri masih berjalan seperti biasa. Beban pekerjaan sangat tinggi tetapi hanya didukung dengan sedikit staf teknis. Oleh karena itu, banyak pejabat terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri. Hanya sebagian kecil pejabat saja yang didukung tenaga ahli konsultan dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya.
Pembatasan penerimaan jumlah pegawai memang menjadi kebijakan Pemerintah secara umum sebagai salah satu antisipasi menghadapi perubahan peran pemerintah menjadi fasilitator pembangunan. Seharusnya yang terjadi adalah berkembangnya kemampuan para pejabat dalam hal kepemimpinan, koordinasi dan pemberdayaan masyarakat. Namun, masa transisi selalu bagian yang terberat dalam proses, Tampaknya saat itu mereka tetap terkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri, tidak timbul suatu penghayatan yang kuat bahwa paradigma penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah.
Pada tahun 2005 dan 2006 Departemen telah menerima kembali serombongan pegawai baru. Permasalahan utama yang dihadapi adalah mereka datang pada saat masa transisi perubahan paradigma yang belum selesai. Kita masih menghadapi suatu kegalauan apakah akan berperan sentral kembali ataukah melanjutkan reformasi paradigma. Secara retorik sering disampaikan kita melanjutkan konsep reinventing government, namun pola kerja yang kita lakukan tidak mendukung terwujudnya pendekatan baru tersebut.

Perbedaan Karakter Tenaga Baru
Rombongan pegawai baru angkatan medio 2000-an memiliki karakter yang sangat berbeda dengan rombongan pegawai angkatan medio 1980-an. Angkatan lama masuk pada saat teknologi informasi mulai berkembang ditandai dengan adanya pengolah kata Word Star atau Word Perfect dan pengolah lembar kerja Lotus atau Symphony, sedangkan angkatan baru berada pada kondisi state of the art teknologi informasi. Misalnya, soft ware utama pendukung kerja, MS Office, tidak banyak berubah sejak tahun 1995.
Berbeda dengan angkatan lama, angkatan baru hidup dalam dunia internet. Sejak mahasiswa mereka terlatih untuk bersahabat dengan internet. Dalam menyelesaikan permasalahan, mereka tidak lagi harus selalu berhubungan langsung dengan manusia. Sahabat mereka adalah komputer lap top ketika sedang mobil dan desk top ketika di rumah dan di kampus.
Komunikasi internet adalah bahasa transparan, tidak banyak hal yang dapat disembunyikan. Mereka akan menyampaikan keinginan dan pemikirannya jauh lebih terbuka dibandingkan generasi sebelumnya. Sering kali sikap ini berbenturan dengan generasi sebelumnya. Jika dihadapi dengan tidak arif dikhawatirkan timbul konflik yang akan mengurangi kinerja organisasi.
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah budaya instan. Sampai dengan mereka lulus sekolah mungkin data yang mereka perlukan sudah tersedia dalam internet. Belum ada kajian sejauh mana mereka dapat menghargai proses inputing data. Masalah ini memang bukan masalah mereka saja. Secara nasional kita lemah dalam pengolahan data. Tidak banyak unit organisasi yang dapat membangun basis data yang kuat. Tidak banyak pegawai yang memiliki kecintaan terhadap data base, padahal keputusan yang baik dan cepat hanya dapat ditetapkan apabila didukung sistem data yang kuat.

Kejelasan Visi Peran SDM PU ke Depan
SDM PU seperti apa yang kita butuhkan ke depan? Sejauh yang diketahui belum ada kesepakatan pimpinan secara bulat. Sebenarnya unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan sudah teridentifikasi, yaitu antara lain: paradigma baru dalam Reinventing Government, tuntutan Good Governance dan Good Cooperate Governance, tuntutan Millenium Development Goals, era Globalisasi, era Desentralisasi, budaya dunia internet, dan berkembangnya peran swasta dalam urusan publik. Kiranya seluruh komponen yang berkepentingan terhadap peran Departemen PU ke depan perlu meluangkan waktu untuk duduk bersama merumuskan visi SDM PU ke depan.

Kreativitas Institusi dalam Peningkatan Kesejahteraan
Ketika lingkungan kehidupan lebih sering dinilai dengan biaya, dan malahan sudah meraksuk ke bidang pendidikan, apakah masih logis menuntut prestasi tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai. Sebenarnya pegawai tidak menuntut sesuatu yang mengada-ada. Yang sering dituntut adalah kesetaraan. Jika Departemen atau lembaga negara lainnya bisa melakukannya, mengapa Departemen PU tidak. Dalam hal ini sangat diharapkan kreativitas pemegang kebijakan di Departemen untuk mewujudkannya.

PEMBINAAN SDM- PU KE DEPAN

1. Tetapkan Visi SDM – PU ke Depan
Dalam dunia olah raga dikenal rumus kesuksesan, yaitu sinergi antara aksi, motivasi, dan visi. Sebaik apapun rencana yang dibuat, jika tidak dilanjutkan dengan aksi rencana tersebut hanya sebuah pepesan kosong. Motivasi diperlukan untuk mencapai hasil karya pada tingkat state of the art. Dan semua itu akan berarti jika sesuai dengan visi yang ingin dicapai.
Fungsi utama visi adalah kompas. Namun, visi yang baik dapat menimbulkan motivasi untuk terus berupaya mencapai puncak keberhasilan. Visi yang baik akan sangat meresap pada sebagian besar pegawai. Departemen PU pernah merumuskan visi yang mampu menjiwai seluruh gerak langkah unsur Departemen, yaitu ketika visi pendekatan wilayah diterapkan. Jika kita mau memeras pikiran dengan mengkaji seluruh komponen pembentuk visi, kita yakin bisa merumuskan visi tersebut sesuai dengan kebutuhan Departemen dalam memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.

2. Selaraskan Pola Kerja dengan Paradigma yang Disepakati
Salah satu unsur yang harus dipertimbangkan dalam perumusan visi adalah perubahan paradigma dalam penyelenggaraan IPU. Apakah kita telah sepakat dalam melaksanakan pembangunan IPU yang sejauh mungkin akan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap proses pembangunan? Jika sudah sepakat jangan hanya sekedar retorika. Pengambilan keputusan untuk menerapkan suatu paradigma seharusnya berdasarkan pemikiran dan hasil kajian yang mendalam.
Setiap paradigma memiliki ciri-ciri dasar yang perlu diterapkan. Jika hal ini tidak diperhatikan, pencapaian visi akan terhambat. Seharusnya jika paradigma telah ditetapkan dengan mantap, tidak perlu terjadi suatu konflik kepentingan yang menghalangi penerapan prinsip dasar tersebut. Walau bagaimanapun, tidak akan pernah ada kebijakan yang memuaskan semua pihak, yang sering terjadi dalam kenyataan adalah adanya suatu kebijakan yang memihak pada kepentingan umum yang lebih besar.

3. Kuasai dan Terapkan Konsep Manajemen Output
Ketika banyak pekerjaan yang dilaksanakan secara swakelola, kita harus menerapkan konsep Manajemen Input dan Proses dengan seksama. Salah satu kelemahan pokok dalam pelaksanaan pekerjaan dengan swakelola murni adalah pembengkakan jumlah pegawai. Banyak negara di dunia yang telah merampingkan jumlah pegawai negerinya dengan konsekuensi sebagian pekerjaannya harus dilakukan oleh swasta.
Dalam melaksanakan pekerjaan swasta dibekali spesifikasi untuk mewujudkan hasil pekerjaan sesuai dengan rencana. Berbeda dengan pemerintah, prinsip swasta adalah menggali kuntungan sebesar-besarnya. Swasta akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi sumber daya input dan mengefisienkan proses pelaksanaan. Oleh karena itu, dalam waktu tidak lebih dari dua dekade, sektor swasta sudah lebih menguasai sistem kerja dalam tataran efisiensi dibandingkan sektor publik.
Penguasaan konsep Manajemen Output tidak berarti meninggalkan secara total konsep Manajemen Input dan Proses. Ada dua pola pikir yang berbeda. Yang pertama adalah penguasaan Manajemen Input dan Proses dan segaligus penerapannya. Pola ini diperlukan oleh para pelaku pekerjaan untuk meningkatkan tataran efisiensi. Pola pikir kedua adalah Penguasaan Manajemen Output dan konsep Manjemen Input dan Proses sekaligus penerapan konsep Manajemen Output. Pola kedua ini diperlukan oleh para pengendali pekerjaan dalam rangka pengendalian efisiensi dan peningkatan tataran efektifitas.
Kita bersama-sama perlu menggali pengetahuan dan praktis terkait dengan konsep Manajemen Output. Penerapan Manajemen Output lebih banyak pada pengendalian external. Kompetensi dasar yang diperlukan antara lain adalah kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkoordinasi; kemampuan dalam memnfaatkan sumber daya outsourcing, kemampuan dalam pemanfaatan sistem informasi, dan empati terhadap kepentingan yang lebih besar atau kepentingan publik.

4. Tetapkan Sistem Pembinaan dalam Jalur Karier Strategis
Pimpinan perlu menetapkan kriteria yang diperlukan untuk menduduki posisi jabatan tertentu secara transparan dan setiap pegawai mengetahui bagaimana untuk memiliki kriteria yang dipersyaratkan tersebut. Organisasi perlu memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luas kepada seluruh pegawai untuk memiliki kriteria tersebut. Berikut adalah beberapa posisi jabatan strategis yang sudah tersedia dan kegiatan strategis yang perlu terus dikembangkan sebagai wadah pembinaan pegawai.
a. Penanggung Jawab Teknis Kegiatan (Project Official)
PJTK adalah jabatan ex-officio yang tidak terdaftar secara formal dalam sistem kepegawaian Departemen. Pada era tahun 1985 – 1999 proyek pusat di Bina Marga sering menerapkan jabatan ini untuk pengendalian proyek yang dilaksanakan oleh mitra swasta. Walaupun ex-officio mereka diberi wewenang penuh dalam hal teknis, sehingga mereka sering melakukan diskusi dengan pelaksana kegiatan mencakup hal-hal yang detail.
Penerapan PJTK perlu terus dikembangkan sehingga setiap pegawai potensial yang berlatar belakang teknis, bukan berarti harus rekayasa teknik, diberi kesempatan untuk menjadi PJTK. Karena saat ini jumlah satuan kegiatan yang didukung DIPA sangat terbatas, maka satuan kegiatan tersebut perlu dipecah menjadi beberapa satuan subkegiatan yang mandiri secara teknis. Dengan demikian, setiap pegawai tersebut memiliki kesempatan untuk ditugaskan menjadi PJTK dengan lingkup tugas sesuai dengan subkegiatan tersebut.
Dalam beberapa kasus, misalnya ketika ada satu kegiatan yang banyak menarik minat pegawai, dapat diperlakukan persyaratan khusus dengan sistem pendaftaran proaktif. Pegawai yang berminat dapat mengajukan proposal teknis yang dinilai oleh Penanggung Jawab Kegiatan tersebut. Sistem ini akan menciptakan pengelolaan kegiatan yang transparan sekaligus memberikan motivasi kepada seluruh pegawai.

b. Asisten Penanggung Jawab Kegiatan (Assistant of Project Manager)
APJK adalah karier officio tingkat awal yang sudah masuk dalam sistem pembinaan pegawai Departemen. Salah satu sumber pegawai untuk dipilih dan ditugaskan dalam posisi APJK adalah hasil penilaian kinerja dari para PJTK.
Secara teknis tugas pokok APJK sama dengan PJTK, kecuali perbedaan dalam lingkup tugasnya. Selain lingkup tugas teknis yang lebih luas, APJK juga bertanggung jawab pada hal-hal nonteknis.
Penempatan pegawai pada posisi APJK sudah terbukti sebagai wadah pembinaan yang efektif. Banyak pegawai yang menduduki posisi jabatan tertinggi di Departemen sebelumnya pernah ditugaskan sebagai APJK.

c. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
Mulai tahun 2008 seluruh anggota panitia pengadaan barang dan jasa harus besertifikat. Sertifikat menunjukkan tingkat kompetensi yang mereka miliki. Dengan adanya kewajiban besertifikat ini seharusnya keanggotaam dalam panitia pengadaan menjadi sesuatu yang prestisius.
Tingkat profesionalisme selalu dikaitkan dengan peningkatan penghasilan atau nilai penghargaan yang diperoleh, tidak bisa hanya sekedar penugasan. Berbeda dengan jabatan struktural dan fungsional yang mempunyai jenjang peningkatan karier yang jelas, keanggotaan dalam kepanitiaan tidak memiliki jenjang. Dengan tanggung jawab yang demikian besar tetapi tidak didukung sistem penghargaan yang jelas, kewajiban sertifikasi dapat dijadikan alasan untuk menghindari tugas. Salah satu bentuk penghargaan misalnya, dapat berupa pengalaman kepanitiaan yang dijadikan referensi karier untuk menduduki jabatan tertentu.

d. Penanggung Jawab Kegiatan (Project Manager)
Tugas dan wewenang PJK sudah banyak diatur oleh Departemen. Yang belum banyak dikembangkan adalah kriteria untuk menduduki posisi PJK. Sistem sekarang PJK disebut Pejabat Pembuat Komitmen. Kriteria utama yang diperlukan adalah pejabat struktural atau fungsional dengan eselon satu level atau yang setara di bawah Kepala Satkernya.

e. Pejabat Struktural (Eseloneering)
Tugas dan wewenang pejabat struktural sudah banyak diatur oleh Departemen. Namun dalam pelaksanaannya perlu ditekankan pada penerapan konsep berbasis kinerja. Tidak lagi pejabat yang lain yang diberi amanat sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan publik kecuali tugas yang dibebankan kepada para Pejabat Struktural. Pejabat struktural harus mampu memanfaatkan segala sumber daya untuk mewujudkan visi Departemen. Dalam pelaksanaan tugasnya jangan terlalu melihat ke dalam tetapi harus memberdayakan seluruh potensi out sourcing.

f. Pejabat Fungsional
Pejabat Fungsional harus mampu bekerja sebagaimana yang dilakukan sektor swasta. Mereka harus menguasai bidang keahliannya dengan baik dan mendalam sehingga dapat meningkatkan efisiensi. Jika diperlukan dibuat sistem yang memungkinkan antar pejabat fungsional bersaing dengan sehat.
Keberadaan Pejabat Fungsional akan berkembang dengan baik jika sistem pelaksanaan tugas dalam organisasi berbasis organisasi matiks. Pejabat Fungsional adalah elemen dari materiks tersebut yang ruang lingkup tugasnya tidak dibatasi oleh wadah organisasinya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kompetensi keahliannya. Ke depan mungkin perlu dilakukan kajian secara mendalam bagaimana merencanakan dan menerapkan pendekatan organisasi matriks ini.

g. Penugasan sebagai Pembimbing Staf
Para pejabat di atas tingkat PJTK perlu ditambahkan tugas pembimbingan tenis kepada staf di bawahnya. Para penjabat tersebut dapat menyusun rencana pembimbingan teknis kepada stafnya dengan pola berjenjang. Hasil pelaksanaan tugas ini perlu dimasukkan dalam penilaian kinerja pejabat.

h. Penugasan dalam Program Pendidikan dan Pelatihan
Penugasan dalam program pendidikan sudah berjalan dengan baik, artinya banyak pegawai yang berminat dan mengharapkan dapat melanjutkan pendidikannya. Namun untuk program pelatihan, masih banyak pegawai yang mengikutinya hanya karena ditugaskan. Belum tumbuh kesadaran yang kuat pada diri pegawai, kecuali mengikuti program pelatihan kepemimpinan yang menjadi persyaratan jabatan struktural, untuk meningkatkan kompetensinya melalui program pelatihan.
Program pelatihan perlu dirancang dengan cermat. Selain substansi pelatihannya yang perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan terkini, juga keterkaitannya dengan persyaratan jabatan tertentu. Karena dipersyaratkan, Departemen harus menyediakan sumber daya yang cukup agar program pelatihan dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak menimbukan hambatan dalam perjalanan karier pegawai.
Sebagai informasi, Pusbiktek telah mengembangkan suatu sistem yang mengintegrasikan program pelatihan dan pendidikan yang disebut dengan pendidikan sistem modular. Setelah mengikuti sekian modul program pelatihan, peserta dapat melanjutkan ke program pendidikan bergelar dengan hanya mengikuti sisa kurikulum yang belum terdapat dalam program pelatihan.

i. Keikutsertaan dalam Rangkaian Kegiatan Diskusi Terencana
Seluruh pejabat diharapkan dapat menyusun rencana serangkaian kegiatan diskusi yang dapat diikuti seluruh staf dari lingkungan internal maupun external. Tidak menutup kemungkinan yang menyampaikan presentasi materi diskusi adalah stafnya sendiri. Materi diskusi terkait dengan permsalahan terkini yang dihadapi Departemen. Materi diskusi bisa juga dikaitkan dengan kegiatan kajian yang sedang dilaksakan pada unit kerjanya.

5. Terapkan Sistem Pembinaan Tour of Duty
Apabila dikehendaki, wadah dan perangkat penerapan ssistem Tour of Duty di lingkungan Departemen PU sudah cukup memadai. Beberapa contoh dukungan sistem dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Lingkup tugas substansi Departemen PU sudah jelas sehingga lebih memudahkan fokus pembinaan.
b. Sistem penempatan pegawai terkoordinasi melalui Biro Tata Laksana dan Kepegawaian bersama-sama dengan bagian kepegawaian di masing-masing unit kerja.
c. Pengembangan visi kepegawaian dilakukan oleh BPKSDM.
d. Jumlah dan jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh Departemen setiap tahunnya cukup banyak.
e. Organisasi PU telah didukung beberapa unit kerja di daerah.
f. Kejasama Departemen dengan Pemerintah Daerah sangat baik dan dalam hal-hal tertentu peran Departemen masih sangat diperlukan di daerah.
g. Teknologi informasi telah berkembang sangat pesat dan organisasi telah didukung unit kerja informatika dan publikasi sehingga komunikasi dengan seluruh pegawai dimana pun mereka berada dapat dilakukan dengan baik.

6. Upayakan Peningkatan Kesejahteraan
Seorang mantan pejabat Departemen pernah menceritakan bagaimana dahulu Menteri Sutami mengajukan usulan tunjangan kerja khusus bagi pegawai Dep. PU yang akan diberi tugas besar mengelola dana raksasa untuk membangun infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Nilai tunjangan khusus tersebut setara dengan gaji satu bulan. Tanpa tunjangan khusus tersebut tidak mungkin para pejabat dan pelaksana pekerjaan di lapangan yang memiliki beban pekerjaan dan tanggung jawab jauh lebih besar dibandingkan pegawai yang setara di Departemen lain, dapat dikendalikan dengan baik untuk meningkatkan prestasinya. Sayangnya ketika gaji bulanan meningkat, besaran tunjangan khusus tersebut relatif tetap, sehingga menjadi tidak signifikan lagi.
Dari contoh di atas banyak cara yang dapat dilakukan oleh penanggung jawab kebijakan. Peraturan Menteri Keuangan No. 96/ PMK.02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2006 dapat dijadikan acuan untuk menyusun berbagai subkegiatan tanpa mengabaikan tataran efektifitas, sehingga pelaku langsung kegiatan dapat memperoleh penghargaan yang optimal.

7. Bangun Karakter Pegawai sesuai dengan Visi
Sekarang sudah banyak perusahaan jasa dan organisasi nonprofit yang menawarkan program pelatihan pembangunan karakter pegawai. Kegiatan pelatihan biasa dilaksanakan antara tiga hari sampai dengan dua minggu. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan pelatihan tersebut, sekurang-kurangnya peningkatan pemahaman terhadap pentingnya jati diri dalam proses pengembangan karier.
Namun, pembangunan karakter pegawai tidak cukup hanya melalui pelatihan. Penanaman konsep diri harus dimulai sejak saat pertama pegawai masuk kerja. Setiap pimpinan di satuan kerja terkecil diberi tugas untuk melaksanakan proses pembimbingan secara berjenjang. Pemimpin adalah seseorang yang dapat memberikan teladan kepada lingkungan kerjanya. Dia tidak akan disebut pemimpin apabila sikap keteladanan itu tidak muncul walaupun secara formal ia menduduki suatu jabatan. Sayangnya konsep pola pembimbingan tersebut belum dikembangkan. Ke depan seharusnya hal itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Salah satu cara pembangunan karakter yang efektif adalah melalui proses pendidikan formal. Departemen PU adalah departemen teknis yang menjadi pionir pendidikan kedinasan untuk meningkatkan kualitas pegawainya, yaitu dimulai sejak tahun 1952. Walaupun telah menghasilkan banyak pemimpin di berbagai tingkat jabatan dan mereka telah memberikan banyak teladan kepada lingkungan kerjanya, tetapi bukan berarti kurikulum pendidikan sudah sempurna. Kurikulum harus selalu disesuaikan dengan dinamika perubahan paradigma. Yang paling mampu membaca perubahan paradigma adalah para pembina teknis. Oleh karena itu, diharapkan semua pembina teknis di lingkungan Departemen dapat terlibat dalam proses perancangan kurikulum tersebut.

8. Kembangkan Peran Tenaga Fungsional
Baik pekerjaan swakelola maupun dikontrakkan dapat melibatkan Pejabat Fungsional. Yang perlu dilakukan oleh Pejabat Fungsional adalah pekerjaan yang bersifat detail mikro. Oleh karena itu mereka lebih baik jika bekerja dalam tim yang terdiri dari beberapa pejabat fungsional yang tetap dikoordinasikan oleh pejabat struktural. Mereka tidak perlu dibatasi bekerja dalam satu kegiatan dam satu unit kerja tetapi dapat bekerja secara paralel di berbagai kegiatan yang sesuai, apapun unit kerjanya. Peraturan Menteri Keuangan No. 96/ PMK.02/2006 seyogyanya dapat dijadikan dasar untuk memberikan motivasi peningkatan profesionalisme Pejabat Fungsional.

9. Lakukan Pendekatan Organization Learning
Dunia semakin cepat berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat berkembang secepat dinamika perubahan itu sendiri. Program pelatihan dan pendidikan formal tidak mungkin mengejar kecepatan perubahan tersebut. Harus ditumbuhkan pada setiap pegawai untuk terbiasa melakukan self directed learning, yaitu mampu meningkatkan kualitas dirinya sendiri melalui proses pembelajaran secara mandiri.
Organisasi modern dituntut untuk dapat memfasilitasi kebutuhan pembelajaran mandiri. Inti penerapan organization learning adalah pelibatan seluruh pegawai dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, program kegiatan rangkaian diskusi, penyediaan fasilitas ineternet yang memadai, dan penugasan pada kegiatan khusus yang bersifat kontemporer merupakan wahana strategis penerapan organization learning. Pemimpin organisasi yang bijaksana adalah adalah sesesorang yang mampu menularkan kemampuannya kepada seluruh staf di lingkungan kerjanya. Walaupun ia telah mengetahui apa yang harus diputuskan, akan lebih baik proses tersebut dilakukan melalui hasil pembahasan bersama staf sebagai ajang proses pembelajaran.
Sumber daya utama dalam pembelajaran adalah waktu. Selama masih memungkinkan, jangan merasa membuang waktu ketika pengambilan keputusan berjalan dengan alot. Banyak hal yang bisa diperoleh dalam proses tersebut, antara lain soft skill yang sangat penting dalam menunjang perjalanan karier pegawai.

10. Publikasi Profil dan Hasil Karya Pegawai Berprestasi Tinggi
Tahun 2006, Pusbiktek melakukan kunjungan kerja ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta untuk meninjau arsip-arsip yang dimiliki UGM di bidang pengelolaan lahan rawa atau gambut. Luar biasa, UGM masih menyimpan berbagai arsip terkait dengan pengembangan rawa di Pulau Kalimantan. Hanya sayang arsip tersebut belum dikemas dengan baik, misalnya dijadikan file elektronik sehingga dapat lebih mudah dimanfaatkan.
Pusbiktek pernah mengundang Bapak Ir. Hendro Pranoto dalam sebuah acara diskusi untuk menyampaikan pengalamannya selama aktif menjabat di lingkungan Departemen. Banyak hal yang baru yang kami dengar mengenai perkembangan visi Departemen. Banyak hal yang terungkap terkait dengan kisah suskses para pemimpin Departemen terdahulu. Semua informasi tersebut sangat berharga untuk memberikan ilmu dan motivasi kepada generasi yang lebih muda.
Ke depan, penanggung jawab kebijakan di Departemen perlu memfasilitasi para senior atau siapa pun yang berpotensi dapat menyampaikan pengalamannya. Saat ini Departemen telah menyediakan berbagai media yang dapat dijadikan ajang tukar menukar informasi. Yang belum dilakukan adalah bagaimana menciptakan suatu atmosfir yang kondusif sehingga setiap pegawai dapat dan mau berekspresi dan berkreasi untuk menjawab berbagai tantangan ke depan.



KESIMPULAN

Sistem pembinaan pegawai yang efektif dan efisien bukan sesuatu yang sederhana, tetapi sangat kompleks mencakup berbagai subsistem terkait. Walaupun demikian bukan hal yang tidak mungkin untuk mewujudkannya. Banyak benchmarking yang bisa diacu baik di tingkat nasional maupun internasional.
Yang paling utama dalam pola pembinaan pegawai adalah adanya visi yang jelas dan visi tersebut mampu menjiwai seluruh gerak langkah pelaku terkait. Visi yang baik selalu menggambarkan paradigma yang sedang atau akan berkembang, karena pada prinsipnya sumber daya manusia yang dibina adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, dalam hal ini pengguna infrastruktur yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan.Prasarana dan sarana pembinaan pegawai Departemen PU sebagian besar sudah tersedia. Kita tinggal memberikan perhatian yang lebih terfokus dan seksama untuk mengembangkan prasarana dan sarana tersebut. Seluruh sumber daya yang ada perlu disinergikan sehingga proses pengambilan keputusan menghasilkan state of the art dan menggambarkan keinginan kita bersama.

1 comment:

Yudhi Triana said...

incredible, komprehensif dan aspiratif, sebagai generasi baru saya merasa terwakili, dan ini juga masukan buat saya dalam bagaimana membuat approach terhadap suatu kondisi yang menurut saya tidak sreg......inspiring..........