Tuesday, January 30, 2007

PENINGKATAN IMPLEMENTASI KAIDAH GOOD GOVERNANCE DI DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

PENDAHULUAN

Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan yang memenuhi kaidah good governance sudah dicangkan sejak lebih dari satu dekade yang lalu. Namun, masih sering timbul keraguan baik di masyarakat maupun di dalam lingkungan pemerintahan sendiri apakah pelaksanaan tugas tersebut sudah mengimplementasikan kaidah good governance. Keraguan tersebut timbul disebabkan berbagai alasan, antara lain: (1) pemahaman kaidah good governance masih dalam tataran visi, (2) belum ada indikator keberhasilan pelaksanaan kaidah good governance yang disepakati bersama, (3) terlalu besarnya harapan terciptanya clean government yang dikaitkan dengan good governance.
Departemen Pekerjaan Umum terus berupaya untuk mensosialisasikan penerapan good governance di dalam lingkungan Departemen. Penyebarluasan konsep dasar kepada seluruh level jabatan sudah dilaksanakan dalam berbagai kesempatan, baik dalam bentuk pengarahan, seminar, maupun pelatihan. Tidak berlebihan jika dikatakan hampir setiap pejabat di lingkungan Departemen sudah mengetahui substansi prinsip-prinsip good governance. Salah satu upaya strategis yang telah dilakukan Departemen adalah memberikan penghargaan kepada para pejabat terpilih yang diharapkan dapat memberikan contoh pelaksanaan good governance. Pemilihan tersebut sudah dilakukan kepada pejabat Eselon II dan III dan pada 2007 akan dilakukan pada pejabat Eselon IV.
Oleh karena itu, setelah memperhatikan permasalahan di atas, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu disiapkan dengan sebaik-baiknya untuk lebih meningkatkan implementasi good governance, yaitu: pertama bagaimana pola penyebarluasan kaidah good governance yang efektif dan efisien, dan kedua bagaimana pemberian penghargaan good governance kepada pejabat terpilih dapat memberikan dorongan kepada seluruh jajaran pegawai Departemen untuk lebih meningkatkan penerapan kaidah good good governance.

POLA PENYEBARLUASAN KAIDAH GOOD GOVERNANCE

Alternatif pola penyebarluasan kaidah good governance, antara lain melalui: (1) Pelatihan dan Pendidikan, (2) Penugasan pada kegiatan tertentu, (3) Diskusi Terencana. (4) Program Khusus, (5) mm. Pola apapun yang dilakukan, harus diyakinkan terlebih dahulu bahwa pelaksanaan good governance bukan sekedar mimpi bolong di siang hari. Kaidah good governance adalah realitas sehari-hari yang sesungguhnya setiap orang kemungkinan besar sudah melaksanakannya. Yang menjadi masalah adalah kita tidak menyadari telah melaksanakannya sehingga di dalam diri kita tidak timbul keinginan dan upaya-upaya untuk lebih meningkatkan penerapan good governance secara lebih efektif dan efisien.

Penyebarluasan Kaidah Good Governance melalui Pelatihan dan Pendidikan
Dalam pelaksanaan pelatihan dan pendidikan good governance yang perlu diperhatikan adalah metodologi tranformasinya. Dalam hal ini, kita sudah memiliki pengalaman panjang yang kurang berhasil dalam mentransformasikan nilai-nilai Pancasila kepada seluruh anak bangsa. Metode transformasi yang diterapkan lebih cocok untuk tujuan kognitif sehingga pebelajar hanya memperoleh pengetahuan tetapi tidak tertanam sikap untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam berprilaku. Sebagaimana Pancasila, tujuan pembelajaran substansi good governance lebih ditekankan pada aspek afektif yang dapat dicapai dengan baik apabila dalam diri pebelajar timbul pemaknaan yang mendalam terhadap substansi yang dipelajarinya. Proses timbunya pemaknaan akan lebih mudah terjadi apabila proses transformasi lebih tertuju pada pemenuhan kebutuhan pebelajar sehingga dengan memberikan arahan dan motivasi secukupnya pembelajaran interaktif akan tercipta.

Penyebarluasan Kaidah Good Governance melalui Penugasan Khusus
Kebutuhan good governance akan timbul secara otomatis pada diri seseorang ketika orang tersebut sedang melaksanakan tugas tertentu. Biasanya tugas tersebut berupa tugas pengawasan suatu kegiatan. Saat ia bertugas sebagai pengawas, apalagi ketika tugas itu meruapakan hal baru baginya, akan timbul suatu perasaan bahwa ia harus lebih baik dari orang yang diawasinya.
Tempat yang paling sesuai untuk keperluan ini adalah adanya penugasan khusus yang bersifat sementara untuk melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan di lingkungan Inspektorat Jenderal. Setiap tahun dapat diprogramkan tenaga-tenaga berpotensi dari seluruh unit kerja di lingkungan Departemen untuk diikutsertakan dalam kegiatan pemeriksaan di Inspektorat Jenderal. Waktu penugasan antara 2 minggu sampai dengan sebulan. Selama waktu penugasan di Inspektorat, tidak ada penugasan apapun dari unit kerja asalnya.
Tujuan utama pelibatan tenaga dari unit kerja lain ke Inspektorat bukan untuk meningkatkan efektifiktas proses pemeriksaan, tetapi lebih kepada pembinaan tenaga kerja Departemen itu sendiri dalam rangka meningkatkan kesadaran pentingnya penerapan good governance. Mereka sebaiknya bekerja dalam tim. Anggota tim dari Inspektorat sebelumnya diberikan pembekalan agar mereka bisa berperan sebagai pembina dalam melakukan transformasi nilai-nilai good governance melalui pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab tim. Pada akhir penugasan, ia harus membuat laporan terkait dengan penerapan good governance dalam tim maupun maupun organisasi yang menjadi objek pemeriksaannya. Pimpinan Inspektorat ataupun tim khusus yang ditunjuk dapat mengevaluasi laporan tersebut untuk dijadikan umpan balik sejauh mana penerapan good governance telah dilaksanakan di lingkungan Departemen.
Penugasan khusus tersebut tidak terbatas pada Inspektorat, tetapi mencakup unit kerja yang telah dinilai baik dalam pelaksanaan good governance. Pelaksana tugas khusus dapat merasakan secara langsung bagaimana para karyawan pada unit kerja tersebut melaksanakan tugasnya, berinteraksi ke dalam dan ke luar, mengembangkan kapasitas organisasi dan dirinya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapinya, dan mengelola sumber daya yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak ada sesatu yang sempurna kecuali kemahaannya Tuhan. Oleh karena itu tidak mudah melaksanakan sistem penugasan khusus di atas, karena sangat manusiawi jika yang berkepentingan akan berusaha menyembunyikan setiap kekurangan yang dimilikinya. Tetapi tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang kita yakini memiliki nilai-nilai kebaikan. Salah satu prinsip yang harus ditanamkan pada diri kita sebelum melaksanakan good governance adalah keyakinan bahwa penerapan good governance setingkat apapun akan memberikan kebaikan kepada kita semua.

PENGHARGAAN PADA PELAKSANA KAIDAH GOOD GOVERNANCE

Proses Pemilihan Pejabat Eselon IV yang Patut Menerima Penghargaan Good Governance

Bentuk Penghargaan
Akan dipilih 8 orang pejabat Eselon IV atau pejabat lainnya yang setara di lingkungan Departemen untuk mendapatkan penghargaan Sapta Taruna Bidang Good Governance. Tidak ada tingkatan penghargaan dari ke tujuh penghargaan tersebut. Pada masing-masing jajaran Eselon I akan dipilih satu orang pejabat eselon IV yaitu dari: Setjen, Itjen, Ditjen SDA, Ditjen Bina Marga, Ditjen Cipta Karya, Ditjen Penataan Ruang, Balitbang dan BPKSDM.

Pedoman Pemilihan Calon Pemeroleh Penghargaan
Inspektorat Jenderal bersama-sama dengan tim yang dibentuk oleh Menteri PU membuat pedoman pelaksanaan pemilihan pejabat eselon IV yang patut mendapatkan penghargaan good governance. Isi pedoman tersebut sekurang-sekurang memuat: latar belakang pemberian penghargaan good governance, tujuan, lingkup, tata cara pemilihan, dan jadwal pelaksanaan serta penjelasan kegiatan pendukung proses pemilihan.

Sosialisasi Pemahaman Kaidah Good Governmence
Kegiatan sosialisa diadakan pada masing-masing unit kerja eselon II. Materi sosialisasi disiapkan dan disampaikan oleh masing-masing Pejabat Eselon II, dihadiri oleh seluruh Pejabat Eselon III dan IV, pejabat fungsional, pejabat lainnya terkait dengan Satuan Kerja, dan staf senior. Dalam sosialisasi ini dilakukan penyegaran konsep good governance dan dampaknya dalam penyelenggaraan pemerintahan, penjelasan tekad dan upaya-upaya Departemen dalam pelaksanaan good governance, kriteria keberhasilan pelaksanaan good governance pada suatu organisasi, dan substansi pedoman pemilihan calon pemeroleh pengharggaan good governance.
Hasil pelaksanaan sosialisasi dilaporkan secara tertulis kepada Eselon I masing-masing dan laporannya ditembukan ke Inspektorat Jenderal. Berdasarkan hasil evaluasi laporan tersebut, Inspektorat melaporkan kepada Menteri PU mengenai perkembangan upaya-upaya penerapan kaidah good governance di lingkungan Departemen, khususnya di unit kerja tingkat Eselon II.

Pengembangan Indikator Keberhasilan Pelaksanaan Good Governance
Berdasarkan kriteria yang telah dikembangkan oleh masing-masing pejabat Eselon II, masing-masing pejabat eselon III mengembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Indikator tersebut kemudian didiskusikan bersama- sama dengan pejabat Eselon IV di bawahnya dan staf lainnya. Dalam diskusi dirumuskan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh unit organisasi eselon III dalam menerapkan kaidah good governance. Rumusan tersebut kemudian menjadi kesepakatan bersama untuk dilaksanakan. Pejabat Eselon IV menjadi ujung tombak keberhasilan pelaksanaan good governance tersebut. Dalam waktu yang ditentukan, sesuai dengan jadwal pelaksanaan pemilihan calon penerima penghargaan yang dimuat dalam pedoman, masing-masing pejabat Eselon IV dan pejabat lainnya yang setara melaporkan hasil pengamatan pelaksanaan good governance kepada pejabat Eselon III. Laporan hasil pengamatan tersebut sekurang berisi kondisi awal unit kerja eselon IV dilihat dari sudut pandang indikator-indikator yang telah disepakati, hambatan yang ditemukan dalam upaya-upaya mengimplementasikan kaidah good governance, upaya-upaya untuk mengatasi rintangan tersebut, dan tingkat keberhasilan penerapan good governance berdasarkan indikator tersebut.

Pemilihan Calon Penerima Penghargaan Good Governance
Pada masing-masing unit kerja tingkat eselon II, para pejabat eselon III berembug untuk menetapkan satu calon pejabat eselon IV yang akan mewakili unit kerja eselon II untuk mendapatkan penghargaan good governnance. Dalam pertemuan tersebut, masing-masing pejabat eselon III menyampaikan hasil kajiannya terhadap laporan hasil pengamatan pelaksanaan good governance yang dibuat oleh masing-masing pejabat eselon IV. Di bawah pimpinan pejabat eselon II masing-masing, diharapkan para pejabat Eselon III dapat berdiskusi dengan bebas untuk menggali potensi dan saling memberikan informasi terkait dengan kinerja pejabat eselon IV dalam menerapkan good governance di lingkungan kerjanya masing-masing. Kemudian ditetapkan satu calon penerima penghargaan yang dinilai paling dekat memenuhi kriteria pelaksanaan good governance sesuai dengan arahan pejabat eselon II yang disampaikan dalam kegiatan sosialisasi di atas.
Calon diusulkan kepada pejabat Eselon I oleh pejabat eselon II dengan menyampaikan penjelasan terpilihnya calon tersebut. Pejabat Eselon I kemudian menyampaikan seluruh pejabat eselon IV terpilih calon penerima penghargaan kepada Inspektur Jenderal untuk diproses lebih lanjut di tingkat Departemen. Usulan dari pejabat eselon I tersebut dilengkapi dengan penjelasan bagaimana dan mengapa pejabat eselon IV tersebut terpilih.

Pemilihan Delapan Pejabat Eselon IV Penerima Penghargaan Good Governance
Tim Departemen di bawah koordinasi Inspektur Jenderal Dep. PU melaksanakan pemilihan terhadap calon-calon penerima penghargaan yang diusulkan oleh masing-masing pejabat eselon I. Jumlah calon yang disaring maksimum sejumlah unit kerja eselon II di lingkungan Departemen.
Proses pemilihan perlu mempehatikan batasan sebagai berikut: (1) asal unit kerja/ tempat tinggal calon tidak hanya di Jakarta, (2) jumlah calon yang akan disaring cukup banyak, (3)
Tahap pemilihan: (1) pemilihan 3 calon terbaik dari masing-masing unit kerja eselon I, dan (2) pemilihan pejabat eselon IV penerima penghargaan good governance untuk masing-masing unit kerja eselon I
Kriteria utama yang digunakan untuk proses pemilihan calon tahap pertama: (1) laporan proses pelaksanaan pemilihan calon pada level unit kerja eselon II, (2) dasar pertimbangan pejabat eselon I dalam pengusulan calon, (3) riwayat hidup
Kriteria utama yang digunakan untuk proses pemilihan penerima penghargaan tahap kedua: (1) subtansi presentasi, dan (2) hasil wawancara

Dampak Proses Pemilihan
Proses pemilihan pejabat eselon IV penerima penghargaan good governance di atas tampaknya cukup panjang. Proses tersebut menunjukkan keterlibatan berbagai level unit kerja. Mngingat penerapan good governance adalah misi kita bersama, proses yang terjadi tidak hanya sekedar untuk kepentingan pemilihan penerima penghargaan tetapi mencakup sosialisasi penerapan good governance pada setiap level unit kerja, khususnya pada unit kerja level eselon IV sampai dengan II. Melalui proses pemilihan ini, semua unit eselon II secara aktif merencanakan, mensosialisasikan, dan melaksanakan penerapan good governance.
Proses dimulai dengan pendalaman pemahaman kaidah good governance melalui diskusi terbuka di masing-masing unit kerja eselon II. Dalam proses pemilihan ini, tidak ada substansi good governance yang seragam yang disiapkan secara terpusat. Materi diskusi disiapkan langsung oleh pejabat eselon II disesuaikan dengan karakteristik unit kerja yang dipimpinnya. Pejabat Eselon I dapat langsung merasakan sejauh mana apresiasi pejabat eselon II di bawahnya dalam menerapkan konsep good governance melalui materi yang disiapkannya tersebut. Pejabat eselon II pun dapat melihat sejauh mana pejabat eselon III dibawahnya mampu menjabarkan kriteria yang telah dirumuskan menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan good governance.. Departemen melalui Inspektorat Jenderal dapat merumuskan kriteria dan indikator keberhasilan penerapan good governance berdasarkan masukan dari bawah, sehingga kriteria dan indikator tersebut lebih mudah diimplementasikan. Tindak lanjut yang perlu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal adalah melakukan kajian dampak hasil proses pemilihan ini dan cara-cara memelihara dan mengembangkan atmosfir pelaksanaan good governance yang sudah terbentuk.

POLA PEMBINAAN TENAGA PROFESIONAL DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

PERMASALAHAN

Perubahan Paradigma
Sejak Pemerintahan Amerika Serikat menerapkan konsep-konsep pendekatan baru dalam penyelenggaraan pemerintahannya yang dikupas secara mendalam dalam buku Reinventing Government, banyak negara di dunia mengikuti jejaknya. Salah satu pilar perubahan yang penting adalah pendekatan peran pemerintah yang semula lebih ditekankan pada pelaku utama menjadi mitra dalam penyediaan kebutuhan masyarakat. Peran utama pemerintah lebih banyak pada pengaturan, pengawasan dan pemberdayaan yang dalam UUJK disebut dengan pembinaan.
Dalam pemerintahan Indonesia, tugas pembinaan tersebut secara sistematis telah dilaksanakan sejak tahun 1970-an yaitu ketika dimulainya Pembangunan Lima Tahun pertama. Sesuai dengan persyaratan pemanfaatan dana bantuan luar negeri, banyak pekerjaan yang semula dikerjakan secara swakelola menjadi pekerjaan yang dikontrakkan kepada pihak swasta termasuk Badan Usaha Milik Negara yang manajemen operasionalnya terpisah dari manajemen pemerintahan.
Sebelum era tahun 1970-an dan masa transisi era 1980-an, banyak tenaga ahli pemerintahan yang terlibat langsung sebagai pelaksana pekerjaan, karena memang pada saat itu tenaga ahli dari lingkungan swasta nasional masih sangat kurang. Keterlibatan langsung tersebut telah menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari lingkungan pemerintahan yang handal dan profesional pada masing-masing bidang. Sebagai contoh, pembangunan Jalan Lintas Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Jalan Tol Jagorawi, dan pembangunan ribuan meter jembatan di seluruh wilayah Indonesia telah menghasilkan pakar-pakar jalan dan jembatan di Direktorat Jenderal Bina Marga. Banyak dari pakar-pakar tersebut kemudian menjadi pemimpin di lingkungan pekerjaan umum baik di Pusat maupun di daerah.
Penyerahan sebagian besar pekerjaan kepada pihak swasta secara bertahap telah menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pihak swasta. Pada bidang keahlian tertentu, peningkatan keahlian yang diraih swasta jauh melampaui aparatur. Hal ini terjadi karena ada faktor persaingan diantara pelaku swasta. Mereka memiliki prinsip bahwa yang terbaik akan memiliki akses yang lebih tinggi pada kue pembangunan.
Kapasitas keahlian yang dimiliki aparatur dan swasta secara umum semakin jauh berbeda, khususnya dalam hal kemampuan untuk meningkatkan efisiensi. Tenaga ahli swasta berlomba-lomba mempelajari detail-detail pekerjaan keahlian untuk meningkatkan efisiensi. Di sisi lain keahlian aparatur semakin berkurang karena tidak memiliki banyak kesempatan untuk mencoba dan mengerjakan sendiri di lapangan. Semakin lama kesenjangan kapasitas keahlian tersebut semakin tinggi, dan malahan telah menimbulkan rasa frustasi ketidakberdayaan di lingkungan pemerintahan.


Kurangnya Publikasi terhadap Tenaga Berprestasi
Paradigma baru dalam penyelenggaraan pembangunan tidak secara total menenggelamkan proses penciptaan aparatur yang handal dan profesional di bidangnya. Jalan Tol Jagorawi yang dibangun pada tahun 1980-an melalui proses kemitraan masih menghasilkan tenaga ahli berkualitas. Hanya sayang bukti-bukti proses pencapaian kesuksesan tersebut tidak dipublikasikan dengan baik.
Bagaimana mereka telah bekerja di lapangan, bagaimana mereka bekerja sama bahu membahu dengan mitra kerja untuk menghasilkan pekerjaan jalan yang sampai saat ini masih yang terbaik di Indonesia, bagaimana mereka membina tenaga mudanya dan sebagainya. Sampai sekarang belum ada yang mendokumentasikannya dengan lengkap. Cerita sukses tersebut sesungguhnya sangat penting bagi generasi muda dan juga bagi pimpinan dalam merancang pola pembinaan kepada tenaga muda. Budaya kita masih memerlukan tokoh yang dapat diteladani. Tidak terbatas pada personafikasinya saja, tetapi juga mencakup hasil karyanya yang dapat dijadikan bahan kupasan bagi generasi muda.

Pengembangan Fokus Perhatian pada Efektifitas
Aplikasi paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan telah memakan korban. Kemampuan tenaga ahli aparatur dalam pencapaian efisiensi semakin berkurang. Namun secara sistem hal ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena kemampuan tersebut sangat meningkat di lingkugan swasta. Yang perlu dikhawatirkan adalah kesadaran kita yang sangat terlambat dalam mengantisipasi dampak dari perubahan pardigma di atas.
Dalam Reinventing Government ditekankan mengengai peran penting pemerintah untuk menjamin tercapainya manfaat yang setinggin-tinginya bagi masyarakat atas segala produk yang dicapai. Sesuai dengan fitrahnya yang mengejar keuntungan setinggi-tingginya, sektor swasta tidak akan pernah sepenuh hati menerapkan azas manfaat atau efektifitas. Oleh karena itu sektor pemerintah dituntut untuk selalu memimpin pencapaian efektifitas setinggi-tingginya.
Jauh sebelum Reinventing Government ditemukan dan diterapkan di Amerika Serikat, pada era 1970-an putra terbaik Departemen Pekerjaan Umum, Ir. Sutami dan Ir. Purnomo Sidi telah mengembangkan konsep dasar penerapan azas manfaat dalam penyelenggaraan infrastruktur. Pemanfaatan infrastruktur hanya dapat dinilai dengan pendekatan multidisiplin yang mencakup aspek nonteknis. Pendekatan multidisiplin tersebut dengan baik dituangkan dalam konsep pendekatan wilayah, karena suatu wilayah dikatakan berkembang jika unsur-unsur pembentuk wilayah tersebut mengalami perkembangan atau dengan kata lain dapat merasakan manfaatnya.
Konsep pendekatan wilayah tersebut terus berkembang. Di Bina Marga berkembang konsep pengembangan jaringan jalan yang tediri dari jaringan jalan primer dan skunder, fungsi ruas jalan dari arteri sampai dengan lokal, dan pola penanganan jaringan jalan yang dilakukan secara hierarki dari tingkat nasional sampai perdesaan. Di Sumber Daya Air telah dikembangkan konsep pengelolaan sumber daya air terpadu yang tidak terlepas dengan daya dukung alam yang terbagi dalam Satuan Wilayah Sungai. Pada medio tahun 1980-an, Ditjen Cipta Karya menerapkan konsep pendekatan wilayah secara sistematis dan hasilnya sangat baik, sehingga penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya dapat didesentralisasikan ke daerah jauh sebelum UU Otonomi Daerah dikumandangkan pada tahun 1999.
Konsep pendekatan wilayah dalam penyelenggaraan infrastruktur sangat kuat. Salah satu bukti adalah ketika Departemen dipimpin oleh Ibu Ir. Erna Witular yang notabene datang dari lingkungan luar Departemen. Serta merta Ibu Menteri menerapkan konsep pendekatan wilayah secara total. Tapi ternyata penerapan yang radikal tidak selalu memberikan manfaat yang optimal. Setelah upaya penerapan yang radikal tersebut, timbul dampak pada pelaku penyelenggaraan IPU. Sebagan menganggap konsep pendekatan wilayah tidak cocok dalam penyelenggaraan IPU sehingga harus kembali kepada pendekatan sektor, sebagian lagi menyalahkan ketidaksiapan SDM Departemen yang tidak siap dengan penerapan pendekatan wilayah secara total.
Harus diakui kemajuan penerapan azas manfaat yang telah dicapai oleh para pendahulu di lingkungan Departemen tersebut kurang didukung pembinaan SDM yang tepat sesuai dengan kebutuhan kompetensi untuk mendukung keberlanjutan penerapan konsep tersebut. Kita sebagai aparatur masih berkutat di tataran pencapaian efisiensi padahal sektor swasta sangat kompeten di tataran ini. Kita belum bergeming untuk mengembangkan diri secara maksimal dalam menguasai tataran efektifitas. Dalam hal ini sektor swasta tidak dapat diharapkan karena mereka kurang tertarik pada tataran efektifitas. Secara sistem, tidak ada yang bisa disinergikan antara kemampuan aparatur dan swasta untuk mendukung penyelenggaraan IPU yang efisien dan efektif. Malahan yang terjadi saling mengurangi kapasitas karena bergerak di tataran yang sama. Sebagai dampaknya, hasil pembangunan IPU yang telah kita laksanakan kurang memberikan dorongan yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Hambatan dalam Pengembangan Tenaga Fungsional
Menjelang tahun 2000, dikembangkan jabatan struktural dan jabatan fungsional dalam organisasi Departemen. Jabatan struktural perlu didukung kemampuan manajerial sedangkan jabatan fungsional ke arah substansi keahlian. Salah satu tujuan dari pengembangan ke dua jabatan tersebut adalah untuk menyeimbangkan penguasaan tataran efisiensi dan efktifitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen. Secara konsep kedua jabatan tersebut sama pentingnya sehingga didukung sistem penghargaan yang sama. Namun ternyata jabatan struktural lebih diminati dibandingkan dengan jabatan fungsional.
Pejabat struktural masih terjebak dalam tataran efisiensi yang seharusnya dilaksanakan oleh pejabat fungsional. Akses kepada sumber daya secara organisasi memang menjadi tugas pejabat struktural. Namun disayangkan ketika harus melaksanakan suatu program atau kegiatan, sebelum ditawarkan ke pihak swasta seharusnya ditawarkan dahulu untuk dilaksanakan secara swakelola oleh pejabat fungsional. Hal tersebut tidak terjadi karena tidak tumbuhnya saling percaya di antara para pejabat. Malahan, masih banyak pejabat struktural yang tidak menyerahkan pekerjaan pengendalian teknisnya kepada pejabat fungsional. Oleh karena itu pejabat fungsional lebih banyak menjadi penonton atau aktif sendiri mengerjakan pekerjaan lainnya yang tidak terkait dengan unit kerja yang mewadahinya.
Proses tersebut terus berlangsung tanpa koreksi dari pimpinan, sehingga seolah-olah pembinaan kepegawaian tidak berjalan semestinya. Yang terjadi adalah saling menyalahkan. Pejabat struktural menganggap pejabat fungsional tidak proaktif, mengerjakan sesuatu selalu ada maunya. Di pihak lain, pejabat fungsional menganggap pejabat struktural takut direcoki kemudahan aksesnya terhadap sumber daya. Saling menyalahkan ini tentu saja sangat menrugikan organisasi dan proses pembinaan kepegawaian.

Kesenjangan Penghasilan Sesama Tenaga Profesional
Pada era pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abdurrachman Wahid, ada upaya-upaya sistematis yang sebagian telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur melalui perbaikan sistem penggajian. Sayang sistem tersebut tidak berlanjut karena penyeragaman kesejahteraan terhadap seluruh aparatur yang tingkat profesionalisme sangat complang memberatkan keuangan negara. Sulit untuk dibayangkan, untuk pangkat dan golongan yang sama, aparatur yang melaksanakan tugas rutin mendapatkan penghasilan yang sama dengan aparatur yang dibebani tugas berat sebagaimana profesional swasta bekerja. Setelah dikaji kembali, sistem penggajian aparatur yang seragam yang dapat bersaing dengan sektor swasta hanya dapat dilakukan apabila jumlah dan struktur pegawai sudah efisien dan efektif dan beban tugasnya setara untuk setiap jabatan. Bisa diperkirakan kondisi tersebut sulit untuk dicapai mengingat tingkat keberagaman setiap Departemen atau Dinas yang sangat tinggi.
Peningkatan penghasilan seperti yang telah diupayakan dengan menaikkan gaji pokok tidak selalu akan memberikan kepuasan bagi aparatur. Yang sering menjadi pertanyaan adalah nilai relatif penghasilan yang diterima dibandingkan dengan profesional lainnya. Banyak yang hanya bisa menerima nasib sebagai aparatur dan hal itu baru disadari ketika akan menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Ternyata mereka tidak mampu untuk membayar uang masuk ke perguruan tinggi negeri.
Kesenjanjangan penghasilan juga terjadi di level calon pegawai baru. Mereka mendapatkan penghasilan pertama yang nilainya tidak cukup untuk membayar pondokan sederhana, makan dan transportasi sehari-hari. Banyak diantara mereka yang masih menggantungkan pada bantuan orang tuanya. Peristiwa ini bukan baru terjadi pada masa sekarang, tetapi sejak dulu pun sudah terjadi. Yang berbeda adalah dulu masih termotivasi karena ada harapan perbaikan ketika melihat seniornya yang cukup makmur, tetapi sekarang mereka melihat para seniornya pun menghadapi permasalahan keuangan yang sama beratnya. Tidak mengherankan jumlah calon PNS yang mengundurkan diri cukup signifikan karena mendapatkan kerja yang lebih baik di tempat lain.

Perubahan Tingkat Kepentingan Pembangunan Karakter
Apakah rasa kebanggaan sebagai PNS Departemen PU pada pegawai baru saat ini sama dengan dahulu? Dahulu melaksanakan tugas survey ke lapangan sangat membanggakan karena kita datang membawa keahlian yang belum banyak dimiliki di daerah. Kita datang membawa pemikiran untuk memecahkan permasalahan di lapangan. Kita bisa datang ke lapangan karena hampir sebagian besar proyek besar dibiayai dari Pemerintah Pusat, sehingga kita dapat melakukan pengendalian proyek termasuk masalah teknis.
Kondisi sekarang sudah berbeda. Aparatur di daerah sudah banyak yang mampu bekerja secara mandiri. Berbeda dengan dahulu, para penanggung jawab lapangan sekarang lebih dekat kepada pembina di daerah, walaupun sampai saat ini biaya pengawasan teknis pekerjaan fisik yang dibiayai APBN masih dari Pusat. Kedatangan aparatur Pusat ada yang menganggapnya sebagai gangguan bukan sebagai bantuan teknis.
Peran apa yang dapat dikembangkan oleh aparatur baru sebagai tenaga ahli profesional? Jika hal ini dapat dijawab dengan pas, mungkin dapat dikembangkan pembangunan karakter aparatur yang sesuai dengan kondisi yang berlaku.

Ketertutupan Sistem Pembinaan dalam Jalur Karier Strategis
Dalam perjalanan karier seorang aparatur Dep. PU terdapat beberapa jabatan karier yang sangat mempengaruhi proses pendewasaan diri. Posisi jabatan tersebut anatara lain sebagai Project Official, Project Assistance, Ketua Pelelangan, Project Manager, Jabatan Eselon IV, III dan II. Belum ada sistem pembinaan terbuka yang mampu mengoptimalkan jalur karier strategis tersebut menjadi wadah pembelajaran yang efisien dan efektif sekaligus sebagai ajang penilaian pengembangan karier yang bersangkutan. Mungkin sudah ada sistem yang tertutup, namun tanpa mengetahui standar kerja yang terdapat dalam sistem yang tertutup tersebut, pelaku tidak terdorong untuk memenuhi tuntutan standar tersebut.
Selain ketertutupan sistem pembinaan karier vertikal, secara horizontal pun kurang terbina dengan baik. Tour of duty adalah salah satu sistem pembinaan karier yang sangat baik untuk mengembangkan wawasan dan kompetensi pegawai. Di Jepang, seorang pegawai harus berpindah posisi dalam waktu tiga tahun. Penerapan sistem tour of duty yang baik di Indonesia terdapat di lingkungan ABRI. Dan hasilnya, bebeda dengan di lingkungan pegawai negeri sipil, sampai sekarang ABRI tidak pernah mengalami krisis kekurangan calon pemimpin.

Masa Kekosongan Penambahan Tenaga
Sejak dua dekade sebelum tahun 2005 dapat dikatakan Departemen PU tidak menerima pegawai baru, kecuali beberapa sebagai pengganti tenaga ahli yang pensiun. Pada medio tahun 1990-an, kelompok pegawai yang diterima satu dekade sebelumnya rata-rata sudah menduduki jabatan eselon IV atau tenaga fungsional setara. Pejabat eselon IV periode ini tidak didukung staf teknis yang cukup karena penerimaan pegawai sangat terbatas.
Sampai dengan pertengahan tahun 1990-an pekerjaan IPU masih cukup banyak. Kebijakan atas dana pinjaman luar negeri masih berjalan seperti biasa. Beban pekerjaan sangat tinggi tetapi hanya didukung dengan sedikit staf teknis. Oleh karena itu, banyak pejabat terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri. Hanya sebagian kecil pejabat saja yang didukung tenaga ahli konsultan dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya.
Pembatasan penerimaan jumlah pegawai memang menjadi kebijakan Pemerintah secara umum sebagai salah satu antisipasi menghadapi perubahan peran pemerintah menjadi fasilitator pembangunan. Seharusnya yang terjadi adalah berkembangnya kemampuan para pejabat dalam hal kepemimpinan, koordinasi dan pemberdayaan masyarakat. Namun, masa transisi selalu bagian yang terberat dalam proses, Tampaknya saat itu mereka tetap terkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri, tidak timbul suatu penghayatan yang kuat bahwa paradigma penyelenggaraan pemerintahan sudah berubah.
Pada tahun 2005 dan 2006 Departemen telah menerima kembali serombongan pegawai baru. Permasalahan utama yang dihadapi adalah mereka datang pada saat masa transisi perubahan paradigma yang belum selesai. Kita masih menghadapi suatu kegalauan apakah akan berperan sentral kembali ataukah melanjutkan reformasi paradigma. Secara retorik sering disampaikan kita melanjutkan konsep reinventing government, namun pola kerja yang kita lakukan tidak mendukung terwujudnya pendekatan baru tersebut.

Perbedaan Karakter Tenaga Baru
Rombongan pegawai baru angkatan medio 2000-an memiliki karakter yang sangat berbeda dengan rombongan pegawai angkatan medio 1980-an. Angkatan lama masuk pada saat teknologi informasi mulai berkembang ditandai dengan adanya pengolah kata Word Star atau Word Perfect dan pengolah lembar kerja Lotus atau Symphony, sedangkan angkatan baru berada pada kondisi state of the art teknologi informasi. Misalnya, soft ware utama pendukung kerja, MS Office, tidak banyak berubah sejak tahun 1995.
Berbeda dengan angkatan lama, angkatan baru hidup dalam dunia internet. Sejak mahasiswa mereka terlatih untuk bersahabat dengan internet. Dalam menyelesaikan permasalahan, mereka tidak lagi harus selalu berhubungan langsung dengan manusia. Sahabat mereka adalah komputer lap top ketika sedang mobil dan desk top ketika di rumah dan di kampus.
Komunikasi internet adalah bahasa transparan, tidak banyak hal yang dapat disembunyikan. Mereka akan menyampaikan keinginan dan pemikirannya jauh lebih terbuka dibandingkan generasi sebelumnya. Sering kali sikap ini berbenturan dengan generasi sebelumnya. Jika dihadapi dengan tidak arif dikhawatirkan timbul konflik yang akan mengurangi kinerja organisasi.
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah budaya instan. Sampai dengan mereka lulus sekolah mungkin data yang mereka perlukan sudah tersedia dalam internet. Belum ada kajian sejauh mana mereka dapat menghargai proses inputing data. Masalah ini memang bukan masalah mereka saja. Secara nasional kita lemah dalam pengolahan data. Tidak banyak unit organisasi yang dapat membangun basis data yang kuat. Tidak banyak pegawai yang memiliki kecintaan terhadap data base, padahal keputusan yang baik dan cepat hanya dapat ditetapkan apabila didukung sistem data yang kuat.

Kejelasan Visi Peran SDM PU ke Depan
SDM PU seperti apa yang kita butuhkan ke depan? Sejauh yang diketahui belum ada kesepakatan pimpinan secara bulat. Sebenarnya unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan sudah teridentifikasi, yaitu antara lain: paradigma baru dalam Reinventing Government, tuntutan Good Governance dan Good Cooperate Governance, tuntutan Millenium Development Goals, era Globalisasi, era Desentralisasi, budaya dunia internet, dan berkembangnya peran swasta dalam urusan publik. Kiranya seluruh komponen yang berkepentingan terhadap peran Departemen PU ke depan perlu meluangkan waktu untuk duduk bersama merumuskan visi SDM PU ke depan.

Kreativitas Institusi dalam Peningkatan Kesejahteraan
Ketika lingkungan kehidupan lebih sering dinilai dengan biaya, dan malahan sudah meraksuk ke bidang pendidikan, apakah masih logis menuntut prestasi tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai. Sebenarnya pegawai tidak menuntut sesuatu yang mengada-ada. Yang sering dituntut adalah kesetaraan. Jika Departemen atau lembaga negara lainnya bisa melakukannya, mengapa Departemen PU tidak. Dalam hal ini sangat diharapkan kreativitas pemegang kebijakan di Departemen untuk mewujudkannya.

PEMBINAAN SDM- PU KE DEPAN

1. Tetapkan Visi SDM – PU ke Depan
Dalam dunia olah raga dikenal rumus kesuksesan, yaitu sinergi antara aksi, motivasi, dan visi. Sebaik apapun rencana yang dibuat, jika tidak dilanjutkan dengan aksi rencana tersebut hanya sebuah pepesan kosong. Motivasi diperlukan untuk mencapai hasil karya pada tingkat state of the art. Dan semua itu akan berarti jika sesuai dengan visi yang ingin dicapai.
Fungsi utama visi adalah kompas. Namun, visi yang baik dapat menimbulkan motivasi untuk terus berupaya mencapai puncak keberhasilan. Visi yang baik akan sangat meresap pada sebagian besar pegawai. Departemen PU pernah merumuskan visi yang mampu menjiwai seluruh gerak langkah unsur Departemen, yaitu ketika visi pendekatan wilayah diterapkan. Jika kita mau memeras pikiran dengan mengkaji seluruh komponen pembentuk visi, kita yakin bisa merumuskan visi tersebut sesuai dengan kebutuhan Departemen dalam memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.

2. Selaraskan Pola Kerja dengan Paradigma yang Disepakati
Salah satu unsur yang harus dipertimbangkan dalam perumusan visi adalah perubahan paradigma dalam penyelenggaraan IPU. Apakah kita telah sepakat dalam melaksanakan pembangunan IPU yang sejauh mungkin akan melibatkan masyarakat dalam setiap tahap proses pembangunan? Jika sudah sepakat jangan hanya sekedar retorika. Pengambilan keputusan untuk menerapkan suatu paradigma seharusnya berdasarkan pemikiran dan hasil kajian yang mendalam.
Setiap paradigma memiliki ciri-ciri dasar yang perlu diterapkan. Jika hal ini tidak diperhatikan, pencapaian visi akan terhambat. Seharusnya jika paradigma telah ditetapkan dengan mantap, tidak perlu terjadi suatu konflik kepentingan yang menghalangi penerapan prinsip dasar tersebut. Walau bagaimanapun, tidak akan pernah ada kebijakan yang memuaskan semua pihak, yang sering terjadi dalam kenyataan adalah adanya suatu kebijakan yang memihak pada kepentingan umum yang lebih besar.

3. Kuasai dan Terapkan Konsep Manajemen Output
Ketika banyak pekerjaan yang dilaksanakan secara swakelola, kita harus menerapkan konsep Manajemen Input dan Proses dengan seksama. Salah satu kelemahan pokok dalam pelaksanaan pekerjaan dengan swakelola murni adalah pembengkakan jumlah pegawai. Banyak negara di dunia yang telah merampingkan jumlah pegawai negerinya dengan konsekuensi sebagian pekerjaannya harus dilakukan oleh swasta.
Dalam melaksanakan pekerjaan swasta dibekali spesifikasi untuk mewujudkan hasil pekerjaan sesuai dengan rencana. Berbeda dengan pemerintah, prinsip swasta adalah menggali kuntungan sebesar-besarnya. Swasta akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi sumber daya input dan mengefisienkan proses pelaksanaan. Oleh karena itu, dalam waktu tidak lebih dari dua dekade, sektor swasta sudah lebih menguasai sistem kerja dalam tataran efisiensi dibandingkan sektor publik.
Penguasaan konsep Manajemen Output tidak berarti meninggalkan secara total konsep Manajemen Input dan Proses. Ada dua pola pikir yang berbeda. Yang pertama adalah penguasaan Manajemen Input dan Proses dan segaligus penerapannya. Pola ini diperlukan oleh para pelaku pekerjaan untuk meningkatkan tataran efisiensi. Pola pikir kedua adalah Penguasaan Manajemen Output dan konsep Manjemen Input dan Proses sekaligus penerapan konsep Manajemen Output. Pola kedua ini diperlukan oleh para pengendali pekerjaan dalam rangka pengendalian efisiensi dan peningkatan tataran efektifitas.
Kita bersama-sama perlu menggali pengetahuan dan praktis terkait dengan konsep Manajemen Output. Penerapan Manajemen Output lebih banyak pada pengendalian external. Kompetensi dasar yang diperlukan antara lain adalah kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkoordinasi; kemampuan dalam memnfaatkan sumber daya outsourcing, kemampuan dalam pemanfaatan sistem informasi, dan empati terhadap kepentingan yang lebih besar atau kepentingan publik.

4. Tetapkan Sistem Pembinaan dalam Jalur Karier Strategis
Pimpinan perlu menetapkan kriteria yang diperlukan untuk menduduki posisi jabatan tertentu secara transparan dan setiap pegawai mengetahui bagaimana untuk memiliki kriteria yang dipersyaratkan tersebut. Organisasi perlu memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luas kepada seluruh pegawai untuk memiliki kriteria tersebut. Berikut adalah beberapa posisi jabatan strategis yang sudah tersedia dan kegiatan strategis yang perlu terus dikembangkan sebagai wadah pembinaan pegawai.
a. Penanggung Jawab Teknis Kegiatan (Project Official)
PJTK adalah jabatan ex-officio yang tidak terdaftar secara formal dalam sistem kepegawaian Departemen. Pada era tahun 1985 – 1999 proyek pusat di Bina Marga sering menerapkan jabatan ini untuk pengendalian proyek yang dilaksanakan oleh mitra swasta. Walaupun ex-officio mereka diberi wewenang penuh dalam hal teknis, sehingga mereka sering melakukan diskusi dengan pelaksana kegiatan mencakup hal-hal yang detail.
Penerapan PJTK perlu terus dikembangkan sehingga setiap pegawai potensial yang berlatar belakang teknis, bukan berarti harus rekayasa teknik, diberi kesempatan untuk menjadi PJTK. Karena saat ini jumlah satuan kegiatan yang didukung DIPA sangat terbatas, maka satuan kegiatan tersebut perlu dipecah menjadi beberapa satuan subkegiatan yang mandiri secara teknis. Dengan demikian, setiap pegawai tersebut memiliki kesempatan untuk ditugaskan menjadi PJTK dengan lingkup tugas sesuai dengan subkegiatan tersebut.
Dalam beberapa kasus, misalnya ketika ada satu kegiatan yang banyak menarik minat pegawai, dapat diperlakukan persyaratan khusus dengan sistem pendaftaran proaktif. Pegawai yang berminat dapat mengajukan proposal teknis yang dinilai oleh Penanggung Jawab Kegiatan tersebut. Sistem ini akan menciptakan pengelolaan kegiatan yang transparan sekaligus memberikan motivasi kepada seluruh pegawai.

b. Asisten Penanggung Jawab Kegiatan (Assistant of Project Manager)
APJK adalah karier officio tingkat awal yang sudah masuk dalam sistem pembinaan pegawai Departemen. Salah satu sumber pegawai untuk dipilih dan ditugaskan dalam posisi APJK adalah hasil penilaian kinerja dari para PJTK.
Secara teknis tugas pokok APJK sama dengan PJTK, kecuali perbedaan dalam lingkup tugasnya. Selain lingkup tugas teknis yang lebih luas, APJK juga bertanggung jawab pada hal-hal nonteknis.
Penempatan pegawai pada posisi APJK sudah terbukti sebagai wadah pembinaan yang efektif. Banyak pegawai yang menduduki posisi jabatan tertinggi di Departemen sebelumnya pernah ditugaskan sebagai APJK.

c. Panitia Pengadaan Barang dan Jasa
Mulai tahun 2008 seluruh anggota panitia pengadaan barang dan jasa harus besertifikat. Sertifikat menunjukkan tingkat kompetensi yang mereka miliki. Dengan adanya kewajiban besertifikat ini seharusnya keanggotaam dalam panitia pengadaan menjadi sesuatu yang prestisius.
Tingkat profesionalisme selalu dikaitkan dengan peningkatan penghasilan atau nilai penghargaan yang diperoleh, tidak bisa hanya sekedar penugasan. Berbeda dengan jabatan struktural dan fungsional yang mempunyai jenjang peningkatan karier yang jelas, keanggotaan dalam kepanitiaan tidak memiliki jenjang. Dengan tanggung jawab yang demikian besar tetapi tidak didukung sistem penghargaan yang jelas, kewajiban sertifikasi dapat dijadikan alasan untuk menghindari tugas. Salah satu bentuk penghargaan misalnya, dapat berupa pengalaman kepanitiaan yang dijadikan referensi karier untuk menduduki jabatan tertentu.

d. Penanggung Jawab Kegiatan (Project Manager)
Tugas dan wewenang PJK sudah banyak diatur oleh Departemen. Yang belum banyak dikembangkan adalah kriteria untuk menduduki posisi PJK. Sistem sekarang PJK disebut Pejabat Pembuat Komitmen. Kriteria utama yang diperlukan adalah pejabat struktural atau fungsional dengan eselon satu level atau yang setara di bawah Kepala Satkernya.

e. Pejabat Struktural (Eseloneering)
Tugas dan wewenang pejabat struktural sudah banyak diatur oleh Departemen. Namun dalam pelaksanaannya perlu ditekankan pada penerapan konsep berbasis kinerja. Tidak lagi pejabat yang lain yang diberi amanat sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan publik kecuali tugas yang dibebankan kepada para Pejabat Struktural. Pejabat struktural harus mampu memanfaatkan segala sumber daya untuk mewujudkan visi Departemen. Dalam pelaksanaan tugasnya jangan terlalu melihat ke dalam tetapi harus memberdayakan seluruh potensi out sourcing.

f. Pejabat Fungsional
Pejabat Fungsional harus mampu bekerja sebagaimana yang dilakukan sektor swasta. Mereka harus menguasai bidang keahliannya dengan baik dan mendalam sehingga dapat meningkatkan efisiensi. Jika diperlukan dibuat sistem yang memungkinkan antar pejabat fungsional bersaing dengan sehat.
Keberadaan Pejabat Fungsional akan berkembang dengan baik jika sistem pelaksanaan tugas dalam organisasi berbasis organisasi matiks. Pejabat Fungsional adalah elemen dari materiks tersebut yang ruang lingkup tugasnya tidak dibatasi oleh wadah organisasinya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kompetensi keahliannya. Ke depan mungkin perlu dilakukan kajian secara mendalam bagaimana merencanakan dan menerapkan pendekatan organisasi matriks ini.

g. Penugasan sebagai Pembimbing Staf
Para pejabat di atas tingkat PJTK perlu ditambahkan tugas pembimbingan tenis kepada staf di bawahnya. Para penjabat tersebut dapat menyusun rencana pembimbingan teknis kepada stafnya dengan pola berjenjang. Hasil pelaksanaan tugas ini perlu dimasukkan dalam penilaian kinerja pejabat.

h. Penugasan dalam Program Pendidikan dan Pelatihan
Penugasan dalam program pendidikan sudah berjalan dengan baik, artinya banyak pegawai yang berminat dan mengharapkan dapat melanjutkan pendidikannya. Namun untuk program pelatihan, masih banyak pegawai yang mengikutinya hanya karena ditugaskan. Belum tumbuh kesadaran yang kuat pada diri pegawai, kecuali mengikuti program pelatihan kepemimpinan yang menjadi persyaratan jabatan struktural, untuk meningkatkan kompetensinya melalui program pelatihan.
Program pelatihan perlu dirancang dengan cermat. Selain substansi pelatihannya yang perlu ditingkatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan terkini, juga keterkaitannya dengan persyaratan jabatan tertentu. Karena dipersyaratkan, Departemen harus menyediakan sumber daya yang cukup agar program pelatihan dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak menimbukan hambatan dalam perjalanan karier pegawai.
Sebagai informasi, Pusbiktek telah mengembangkan suatu sistem yang mengintegrasikan program pelatihan dan pendidikan yang disebut dengan pendidikan sistem modular. Setelah mengikuti sekian modul program pelatihan, peserta dapat melanjutkan ke program pendidikan bergelar dengan hanya mengikuti sisa kurikulum yang belum terdapat dalam program pelatihan.

i. Keikutsertaan dalam Rangkaian Kegiatan Diskusi Terencana
Seluruh pejabat diharapkan dapat menyusun rencana serangkaian kegiatan diskusi yang dapat diikuti seluruh staf dari lingkungan internal maupun external. Tidak menutup kemungkinan yang menyampaikan presentasi materi diskusi adalah stafnya sendiri. Materi diskusi terkait dengan permsalahan terkini yang dihadapi Departemen. Materi diskusi bisa juga dikaitkan dengan kegiatan kajian yang sedang dilaksakan pada unit kerjanya.

5. Terapkan Sistem Pembinaan Tour of Duty
Apabila dikehendaki, wadah dan perangkat penerapan ssistem Tour of Duty di lingkungan Departemen PU sudah cukup memadai. Beberapa contoh dukungan sistem dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Lingkup tugas substansi Departemen PU sudah jelas sehingga lebih memudahkan fokus pembinaan.
b. Sistem penempatan pegawai terkoordinasi melalui Biro Tata Laksana dan Kepegawaian bersama-sama dengan bagian kepegawaian di masing-masing unit kerja.
c. Pengembangan visi kepegawaian dilakukan oleh BPKSDM.
d. Jumlah dan jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh Departemen setiap tahunnya cukup banyak.
e. Organisasi PU telah didukung beberapa unit kerja di daerah.
f. Kejasama Departemen dengan Pemerintah Daerah sangat baik dan dalam hal-hal tertentu peran Departemen masih sangat diperlukan di daerah.
g. Teknologi informasi telah berkembang sangat pesat dan organisasi telah didukung unit kerja informatika dan publikasi sehingga komunikasi dengan seluruh pegawai dimana pun mereka berada dapat dilakukan dengan baik.

6. Upayakan Peningkatan Kesejahteraan
Seorang mantan pejabat Departemen pernah menceritakan bagaimana dahulu Menteri Sutami mengajukan usulan tunjangan kerja khusus bagi pegawai Dep. PU yang akan diberi tugas besar mengelola dana raksasa untuk membangun infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Nilai tunjangan khusus tersebut setara dengan gaji satu bulan. Tanpa tunjangan khusus tersebut tidak mungkin para pejabat dan pelaksana pekerjaan di lapangan yang memiliki beban pekerjaan dan tanggung jawab jauh lebih besar dibandingkan pegawai yang setara di Departemen lain, dapat dikendalikan dengan baik untuk meningkatkan prestasinya. Sayangnya ketika gaji bulanan meningkat, besaran tunjangan khusus tersebut relatif tetap, sehingga menjadi tidak signifikan lagi.
Dari contoh di atas banyak cara yang dapat dilakukan oleh penanggung jawab kebijakan. Peraturan Menteri Keuangan No. 96/ PMK.02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2006 dapat dijadikan acuan untuk menyusun berbagai subkegiatan tanpa mengabaikan tataran efektifitas, sehingga pelaku langsung kegiatan dapat memperoleh penghargaan yang optimal.

7. Bangun Karakter Pegawai sesuai dengan Visi
Sekarang sudah banyak perusahaan jasa dan organisasi nonprofit yang menawarkan program pelatihan pembangunan karakter pegawai. Kegiatan pelatihan biasa dilaksanakan antara tiga hari sampai dengan dua minggu. Banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan pelatihan tersebut, sekurang-kurangnya peningkatan pemahaman terhadap pentingnya jati diri dalam proses pengembangan karier.
Namun, pembangunan karakter pegawai tidak cukup hanya melalui pelatihan. Penanaman konsep diri harus dimulai sejak saat pertama pegawai masuk kerja. Setiap pimpinan di satuan kerja terkecil diberi tugas untuk melaksanakan proses pembimbingan secara berjenjang. Pemimpin adalah seseorang yang dapat memberikan teladan kepada lingkungan kerjanya. Dia tidak akan disebut pemimpin apabila sikap keteladanan itu tidak muncul walaupun secara formal ia menduduki suatu jabatan. Sayangnya konsep pola pembimbingan tersebut belum dikembangkan. Ke depan seharusnya hal itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Salah satu cara pembangunan karakter yang efektif adalah melalui proses pendidikan formal. Departemen PU adalah departemen teknis yang menjadi pionir pendidikan kedinasan untuk meningkatkan kualitas pegawainya, yaitu dimulai sejak tahun 1952. Walaupun telah menghasilkan banyak pemimpin di berbagai tingkat jabatan dan mereka telah memberikan banyak teladan kepada lingkungan kerjanya, tetapi bukan berarti kurikulum pendidikan sudah sempurna. Kurikulum harus selalu disesuaikan dengan dinamika perubahan paradigma. Yang paling mampu membaca perubahan paradigma adalah para pembina teknis. Oleh karena itu, diharapkan semua pembina teknis di lingkungan Departemen dapat terlibat dalam proses perancangan kurikulum tersebut.

8. Kembangkan Peran Tenaga Fungsional
Baik pekerjaan swakelola maupun dikontrakkan dapat melibatkan Pejabat Fungsional. Yang perlu dilakukan oleh Pejabat Fungsional adalah pekerjaan yang bersifat detail mikro. Oleh karena itu mereka lebih baik jika bekerja dalam tim yang terdiri dari beberapa pejabat fungsional yang tetap dikoordinasikan oleh pejabat struktural. Mereka tidak perlu dibatasi bekerja dalam satu kegiatan dam satu unit kerja tetapi dapat bekerja secara paralel di berbagai kegiatan yang sesuai, apapun unit kerjanya. Peraturan Menteri Keuangan No. 96/ PMK.02/2006 seyogyanya dapat dijadikan dasar untuk memberikan motivasi peningkatan profesionalisme Pejabat Fungsional.

9. Lakukan Pendekatan Organization Learning
Dunia semakin cepat berubah. Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat berkembang secepat dinamika perubahan itu sendiri. Program pelatihan dan pendidikan formal tidak mungkin mengejar kecepatan perubahan tersebut. Harus ditumbuhkan pada setiap pegawai untuk terbiasa melakukan self directed learning, yaitu mampu meningkatkan kualitas dirinya sendiri melalui proses pembelajaran secara mandiri.
Organisasi modern dituntut untuk dapat memfasilitasi kebutuhan pembelajaran mandiri. Inti penerapan organization learning adalah pelibatan seluruh pegawai dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, program kegiatan rangkaian diskusi, penyediaan fasilitas ineternet yang memadai, dan penugasan pada kegiatan khusus yang bersifat kontemporer merupakan wahana strategis penerapan organization learning. Pemimpin organisasi yang bijaksana adalah adalah sesesorang yang mampu menularkan kemampuannya kepada seluruh staf di lingkungan kerjanya. Walaupun ia telah mengetahui apa yang harus diputuskan, akan lebih baik proses tersebut dilakukan melalui hasil pembahasan bersama staf sebagai ajang proses pembelajaran.
Sumber daya utama dalam pembelajaran adalah waktu. Selama masih memungkinkan, jangan merasa membuang waktu ketika pengambilan keputusan berjalan dengan alot. Banyak hal yang bisa diperoleh dalam proses tersebut, antara lain soft skill yang sangat penting dalam menunjang perjalanan karier pegawai.

10. Publikasi Profil dan Hasil Karya Pegawai Berprestasi Tinggi
Tahun 2006, Pusbiktek melakukan kunjungan kerja ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta untuk meninjau arsip-arsip yang dimiliki UGM di bidang pengelolaan lahan rawa atau gambut. Luar biasa, UGM masih menyimpan berbagai arsip terkait dengan pengembangan rawa di Pulau Kalimantan. Hanya sayang arsip tersebut belum dikemas dengan baik, misalnya dijadikan file elektronik sehingga dapat lebih mudah dimanfaatkan.
Pusbiktek pernah mengundang Bapak Ir. Hendro Pranoto dalam sebuah acara diskusi untuk menyampaikan pengalamannya selama aktif menjabat di lingkungan Departemen. Banyak hal yang baru yang kami dengar mengenai perkembangan visi Departemen. Banyak hal yang terungkap terkait dengan kisah suskses para pemimpin Departemen terdahulu. Semua informasi tersebut sangat berharga untuk memberikan ilmu dan motivasi kepada generasi yang lebih muda.
Ke depan, penanggung jawab kebijakan di Departemen perlu memfasilitasi para senior atau siapa pun yang berpotensi dapat menyampaikan pengalamannya. Saat ini Departemen telah menyediakan berbagai media yang dapat dijadikan ajang tukar menukar informasi. Yang belum dilakukan adalah bagaimana menciptakan suatu atmosfir yang kondusif sehingga setiap pegawai dapat dan mau berekspresi dan berkreasi untuk menjawab berbagai tantangan ke depan.



KESIMPULAN

Sistem pembinaan pegawai yang efektif dan efisien bukan sesuatu yang sederhana, tetapi sangat kompleks mencakup berbagai subsistem terkait. Walaupun demikian bukan hal yang tidak mungkin untuk mewujudkannya. Banyak benchmarking yang bisa diacu baik di tingkat nasional maupun internasional.
Yang paling utama dalam pola pembinaan pegawai adalah adanya visi yang jelas dan visi tersebut mampu menjiwai seluruh gerak langkah pelaku terkait. Visi yang baik selalu menggambarkan paradigma yang sedang atau akan berkembang, karena pada prinsipnya sumber daya manusia yang dibina adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, dalam hal ini pengguna infrastruktur yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan.Prasarana dan sarana pembinaan pegawai Departemen PU sebagian besar sudah tersedia. Kita tinggal memberikan perhatian yang lebih terfokus dan seksama untuk mengembangkan prasarana dan sarana tersebut. Seluruh sumber daya yang ada perlu disinergikan sehingga proses pengambilan keputusan menghasilkan state of the art dan menggambarkan keinginan kita bersama.

MIMPIKAH MENERAPKAN GOOD GOVERNANCE

1. Peristiwa Luar Biasa yang Dianggap Biasa
Cerita ini memang benar-benar nyata dan kerap terjadi di lingkungan kita. Seorang pegawai negeri yang telah menduduki pangkat dan golongan menengah terlihat hidup berkecukupan dan malahan berlebihan. Semua orang sudah mengetahui berapa gajih yang diterima setiap bulannya, karena perhitungan gajih pegawai negeri mengikuti pola baku yang berlaku secara nasional. Jika dihitung tanpa kalkulator pun sudah bisa ditebak, sebenarnya gajih resmi yang diterimanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok yang paling sederhana, yaitu makan dan membayar pengeluaran rutin rumah tangga agar ia dan keluarganya bisa tetap melangsungkan kehidupanya secara normal.
Peristiwa itu sesungguhnya luar biasa karena dengan besaran gajih pegawai negeri yang sangat terbatas, ia bisa memimliki kendaraan roda empat biasa, bukan kendaraan mewah, tahun mutakhir; ia bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta atau negeri tertentu atau universitas tertentu yang bagi kebanyakan orang biaya sekolahnya dianggap tinggi; ia masih bisa jalan-jalan ke luar rumah bersama keluarganya untuk berbelanja di super market atau sekedar makan bersama di restauran; dan setiap menghadapi liburan panjang nasional ia dan keluarganya menyempatkan diri pergi ke luar kota untuk menjenguk orang tuanya yang berada di luar kota atau sekedar bertamasya.
Namun, peristiwa itu menjadi biasa karena banyak sekali pegawai negeri melakukan hal yang sama. Malahan masih tetap dianggap biasa ketika ada pegawai negeri dengan pangkat dan golongan yang sama memiliki kendaraan roda empat untuk masing-masing anggota keluarganya dan malahan kendaraan tersebut masuk dalam kategori kendaraan mewah. Karena sudah dianggap biasa, jangan ditanyakan berapa rumah dan tanah yang dimilikinya.
Ketika ada seseorang yang nyeleneh bertanya darimana kekayaan itu berasal, jawabannya pun luar biasa. Katanya ini semua rejeki dari Tuhan atas segala prestasi yang dicapainya di luar dirinya sebagai pegawai negeri. Katanya ia punya usaha sampingan. Yang luar biasa adalah ternyata banyak pekerjaan sampingan yang menghasilkan pendapatan jauh melebihi dari pekerjaan utamanya. Peristiwa yang luar biasa ini pun menjadi biasa karena banyak orang yang bisa menerima penjelasan tersebut.
Banyak contoh lainnya yang menunjukkan peristiwa luar biasa yang serupa tapi tak sama, tetapi hal itu menjadi biasa karena banyak orang yang menganggapnya biasa. Juga bisa terjadi sebaliknya.

2. Peristiwa Biasa yang Dianggap Luar Biasa
Ini pun kisah nyata. Menjelang hari raya lebaran, seorang utusan proyek datang ke Kantor Pusat Jakarta untuk menghadap beberapa pejabat yang langsung atau tidak langsung terkait dengan proyeknya. Ia dibekali titipan untuk disampaikan kepada para pejabat tersebut. Ketika tugas itu dilaksanakan, ternyata tidak semua pejabat dapat menerima titipan proyek tersebut. Seorang pejabat menolaknya dengan halus sambil mengatakan bahwa si pembawa titipan tersebut lebih memerlukannya daripada beliau.
Kejadian itu sebenarnya peristiwa biasa yaitu seseorang yang merasa tidak berhak untuk menerima suatu titipan karena bertentangan dengan hati nuraninya. Peristiwa ini menjadi luar biasa karena langka sekali ada pejabat yang bertindak seperti itu. Prilaku pejabat tersebut menjadi buah bibir. Dan lebih luar biasa lagi banyak orang-orang tertentu yang kemudian menghindari pejabat tersebut karena pejabat itu dianggap termasuk dalam kelompok orang-orang aneh.
Sebenarnya sesuatu yang biasa jika ada seorang pegawai negeri yang dalam kehidupannya berusaha semaksimal mungkin menyesuaikan diri dengan jumlah penghasilan resmi yang diterimanya. Yang sering tidak dapat menerima keadaan tersebut bukan dirinya sendiri, melainkan orang-orang yang berada di lingkungannya baik yang dekat maupun yang jauh.
Lama kelamaan, akhirnya banyak orang yang terimbas dan berubah cara pandangnya sehingga ketika ia tetap berbicara pada hati nuraninya dianggap dirinya masuk dalam kelompok orang-orang aneh. Ia lalu memberikan jastifikasi bahwa apa yang ia lakukan tidak merugikan bagi siapapun. Peristiwa ini menjadi luar biasa karena hati nurani terkalahkan oleh prilaku sosial yang umum. Kemana lagi kita akan bersandar?

3. Apa yang Biasa dan Apa yang Luar Biasa?
Memperhatikan peristiwa-peristiwa di atas seolah-olah jaman kehidupan sudah terbalik-balik, yang benar menjadi salah yang salah bisa dianggap benar. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut ketika secara individu kita terlibat dalam menetapkan parameter nilai-nilai kebenaran, sehingga parameter tersebut menjadi relatif. Kita akan lebih mudah menjawabnya ketika kembali pada hati nurani yang paling dalam bahwa benar adalah benar dan salah adalah salah. Memang hal itu tidak mudah ketika kita sudah mengabaikan hati nurani, tempat bertahtanya nilai-nilai kebenaran yang paling hakiki.
Sering timbul pertanyaan dalam diri kita, normalkah kehidupan kita ketika setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi ternama, setelah bekerja lebih dari dua dekade, kita masih dilanda kekhawatiran karena tidak memiliki bekal yang cukup untuk pergi ke dokter, untuk mendaftarkan anak kita ke sekolah atau perguruan tinggi yang berkualitas.
Berat sekali menjawab pertanyaan itu ketika ada pembanding lain yang setara tetapi kondisinya berbeda bagai langit dan bumi. Banyak orang lain yang berlatar belakang sama tetapi tempat bekerjanya berbeda tampaknya dapat hidup lebih mapan karena didukung struktur penghasilan resmi yang lebih menjanjikan.
Jika memang pertanyaan itu tidak terjawab atau untuk menjawabnya memerlukan sumber daya pemikiran yang besar, mengapa kita harus bersusah payah menjawabnya. Tanpa menjawabnya pun kita masih punya ruang yang cukup luas untuk mencapai kehidupan dalam norma-norma yang bisa diterima banyak pihak karena tidak menimbulkan chaos dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanpa jawaban berarti kita tidak tahu apakah kita berada di jalan yang benar dan memang itu benar atau salah. Hal itu yang dikemukan oleh seorang ahli ekonomi dalam sebuah tulisannya di Harian Kompas mengenai “Teori Optimalisasi” untuk menjawab ketidakberdayaan kita dalam memberantas KKN. Menurut beliau KKN akan menghancurkan negara ketika melewati batas tertentu, tetapi juga pemberantasan korupsi yang tidak terkendali akan melemahkan kapasitas negara karena pertumbuhan ekonomi terhambat. Bukan berarti KKN itu baik, tetapi kita harus dapat mengatur sumber daya kita sedemikian rupa sehingga tidak hanya digunakan untuk memberantas KKN sehabis-habisnya yang menyebabkan biaya itu jauh lebih besar daripada biaya yang bocor akibat KKN tersebut.
Secara sederhana Teori Optimalisasi dapat digambarkan sebagai berikut. Kita mampu membedakan antara buaya dan cecak walaupun keduanya sama-sama binatang reptilia. Kita akan menolak dan malahan membunuh atau mengusirnya apabila ada buaya di halaman rumah kita. Di sisi lain, kita dapat menerima kehadiran cecak walaupun sering mengotori dinding rumah kita, karena selain tidak berbahaya cecak masih berguna untuk mengurangi nyamuk di rumah kita.
Teori Optimalisasi sudah sering diterapkan di bidang ekonomi dan hasilnya sudah teruji dengan baik. Belum banyak laporan yang telah dipublikasikan ketika diterapkan di bidang lain. Hambatan utama penerapan di bidang lain adalah karena masih banyak orang yang berpikir hitam putih. Walaupun mereka telah dibekali ilmu manajemen dan menyadari perlunya strategi yang tepat untuk mencapai tujuan, tapi mereka selalu memilih hanya satu jalan ke Roma.
Penerapan Teori Optimalisasi sering menimbulkan korban yang sebenarnya tidak perlu karena tidak akan banyak mengubah kondisi yang ada. Karena nasib, seekor cecak dapat terbunuh karena kehadiran anak-anak yang sedang liburan di rumah dan kemudian untuk sekedar kesenangan hati memburunya dengan menggunakan jepretan karet gelang.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba sejauh mana penggunaan Teori Optimalisasi dalam penerapan Good Governanace di lingkungan kerja yang terbatas.

4. Lingkungan Kerjaku
4.1 Kesadaran sebagai Pegawai Negeri Sipil
Ada tiga ciri khusus yang melekat pada pegawai negeri yaitu sebagai abdi negara, abdi masyarakat dan birokrat. Ungkapam pemeranan ini sering terangkat ke permukaan tetapi yang mampu menghayatinya makin sedikit dan malahan yang mendengarnya pun sering tersenyum kecut atau meremehkan.
Setiap negara yang terbentuk di berbagai belahan dunia pasti memiliki asset yang dimanfaatkan untuk menunjang perkembangan negaranya mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Sebagai abdi negara, pegawai negeri berperan untuk menjaga asset tersebut agar dapat berfungsi dengan baik dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Untuk menjadi penjaga asset yang tangguh, pegawai negeri harus memiliki kemampuan ilmu pengtahuan, teknologi dan manajemen yang memadai. Kemampuan tersebut diperoleh dari pengalaman kerja melalui penugasan pada berbagai bidang dan jabatan, dari pendidikan dan pelatihan, dari proses pembelajaran secara mandiri, dan dari proses interaksi antar pegawai negeri sendiri baik secara paralel maupun vertikal.
Peran kedua yang sangat strategis bagi setiap pegawai negeri adalah sebagai abdi masyarakat. Pemeranan di bidang ini menunjukkan bahwa tugas apa pun yang dibebankan kepada dan dilakukan setiap pegawai negeri tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Ketika berperan sebagai abdi negara, harus disadari bahwa asset yang dijaganya diproritaskan untuk kepentingan masyarakat umum. Pengembangan asset akan sia-sia apabila hasilnya tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sejak awal perencanaan pengembangan asset harus selalu dikaji dengan cermat dampaknya bagi kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan kedua peran mulia di atas dapat saja menjadi kontraproduktif apabila setiap pegawai negeri dapat meninterpretasikannya secara bebas. Setiap pegawai negeri adalah anggota organisasi pemerintahan yang menjadi salah satu organisasi kelengkapan negara. Setiap organisasi tentu saja memiliki aturan permainan Di lingkungan pemerintahan aturan permainan tersebut disebut birokrasi, sehingga angotanya disebut birokrat. Pada saat ini, pemahaman masyarakat terhadap birokrasi berkonotasi negatif. Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan, salah satunya mungkin disebabkan oleh pelaksanaan birokrasi yang telah diracuni oleh sifat serakah manusia. Birokrasi tampaknya telah dijadikan alat untuk menunjukkan kekuasaan. Bukan hanya di bidang kepegawaian, banyak bukti menunjukkan keserakahan telah banyak menimbulkan bencana di berbagai kehidupan manusia. Birokrasi sendiri sebenarnya dapat dijadikan senjata ampuh untuk menghindari terjadinya keserakahan tersebut, karena pada hakikatnya birokrasi adalah sistem dan pengaturan agar setiap pegawai negeri dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
Penjelasan ketiga karakateristik pegawai negeri di atas menekankan kepada kita bahwa setiap pelaksanaan tugas pegawai negeri harus dilandasi efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas. Kemampuan yang didukung ilmu pengetahuan dan teknologi akan lebih menjamin pegawai negeri dapat bertindak efisien dalam setiap kegiatan produktfitasnya yaitu memanfaatkan sumber daya sekecil mungkin untuk menghasilkan produk yang telah direncanakan. Selain efisien dalam proses, produk yang dihasilkan harus efektif disetiap level proses yang mencakup hasil, manfaat, dan dampak. Tolok ukur efektifitas yang sering dituntut adalah setiap produk pelaksanaan tugas harus bermafaat bagi masyarakat dan pemanfaatannya berkelanjutan. Efektifitas hanya dapat dicapai apabila pelaksanaan tugas di dukung proses perencanaan dan sistem pemantauan dan evauasi yang memadai Selain dukungan kemampuan iptek, efektifitas dapat dicapai apabila pegawai negeri memiliki sikap inter dan intrapersonal, wawasan multidisiplin, dan pemahaman kewilayahan yang bersifat komprehensif dan integratif. Pemberian status sebagai birokrat seharusnya lebih menjamin pegawai negeri mampu bekerja dengan profesional yang menjunjung tinggi etika profesinya.

4.2 Departemen Pekerjaan Umum Wadah Pengabdianku
Pelaksanaan tugas dan fungsi dari seorang pegawai negeri sebagaimana harapan di atas sangat tergantung pada sistem pembinaan terhadap status dan kedudukan dalam organisasi pmerintahan. Tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan di tingkat pusat terbagi habis dalam level departemen dan lembaga nondepartemen. Visi dan misi dirumuskan dalam level ini, sedangkan level organisasi di bawahanya hanya merumuskan visi dan misi operasionalnya. Oleh karena itu pembinaan status dan kedudukan pegawai negeri pusat sebaiknya berada di level departemen.
Dengan demikian setiap pegawai negeri dapat mengembangkan kapasitasnya sesuai dengan visi dan standar etika profesi pada departemen tersebut. Dalam mengaktualisasikan diri sebagai pegawai negeri yang profesional, mereka tidak akan terlalu khawatir bertentangan pada level operasional. Hal ini akan memberikan dampak positip pada pengembangan kreativitas kerja yang sangat bermanfaat dalam pewujudan visi.

4.3 Penugasan dalam Karier
Karena pembinaan status dan kedudukan berada pada level departemen, penugasan dalam karier pegawai negeri pusat dalam jabatan baik struktural maupun fungsional, dalam mengikuti pendidikan dan pelatihan, dan melaksanakan tugas khusus menjadi anggota suatu tim kerja atau menghadiri suatu kegiatan strategis dilakukan oleh departemen.
Pembinaan karier tersebut dapat dilakukan dengan baik apabila departemen memiliki peta karier setiap anggota pegawai negerinya. Peta karier tersebut berisi catatan pelaksanaan tugas yang sudah dan sedang dilaksanakan. Karakteristik pengalaman setiap pegawai negeri bisa berbeda. Ada yang dibina dengan penugasan yang relatif seragam selama kariernya dan ada pula yang sangat bervariasi. Ke dua tipe pegawai negeri ini sangat diperlukan dalam proses pewujudan visi karena mereka lebih banyak bekerja dalam tim. Keahlian mikro akan menunjang proses peningkatan efisiensi, sedangkan keahlian makro sangat bermanfaat pada proses efektifitas.
Pembinaan karier disesuaikan dengan catatan produktifitas. Pada tahap awal karier pembinaan difokuskan pada keahlian mikro khususnya dalam mengembangkan kemampuan dalam pengolahan data yang menunjang kompetensi dasarnya yang sesuai dengan keilmuan yang dikuasainya. Pada tahap tertentu pembinaan dilakukan untuk memperoleh sumber daya manusia dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi. Ada pegawai negeri yang lebih cocok tetap di jalur mikro dan ada pula yang lebih menyukai jalur makro. Kedua jalur keahlian ini sangat penting dan bermafaat bagi organisasi, tidak ada yang lebih penting atau kurang penting. Keduanya saling mengisi, dan malahan bersinergi dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi organisasi.

4.4 Unit Kerja
Unit kerja adalah satuan organisasi level tertentu yang dibebani tugas pokok dan fungsi. Tugas pokok dan fungsinya diturunkankan dari visi dan misi Departemen dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari departemen. Unit kerja bekerja sebagai satuan tim yang terdiri dari seorang pimpinan dan beberapa staf. Dalam bekerja mereka selalu berhubungan secara vertikal yaitu dengan atasan dan bawahan, dan secara horizontal yaitu dengan unit kerja lainnya.
Hubungan vertikal ke atas terdiri dari atasan dan atasan langsung. Tidak ada ketentuan baku harus berapa level di atasnya yang menjadi atasan dan atasan langsung. Yang paling sering ditemukan, atasan langsung biasanya pejabat satu level di atasnya. Di dalam prilaku organisasi pegawai negeri, atasan langsung sering kali sangat dominan.
Permasalahan organisasi yang sering terjadi karena tidak terciptanya komunikasi yang baik antara atasan langsung dengan bawahannya. Sebenarnya masalah ini tidak perlu terjadi karena tim pada unit kerja adalah kesatuan tim yang memiliki visi dan misi yang sama. Jadi permasalahan terjadi karena miskinnya pemahaman anggota tim terhadap visi. Departemen berperan sangat penting untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selama ini penyelesaian masalah lebih sering mengorbankan bawahan, padahal seharusnya tidak demikian. Penyelesaian masalah organisasi harus difokuskan pada bagaimana visi dapat diwujudkan dengan efektif dan efisien. Jika hal ini dilakukan setiap pegawai negeri akan memberikan karyanya yang terbaik, bukan karya biasa-biasa saja yang hanya untuk menyenangkan atasan.

5. Apa yang Harus Kuperbuat?
Memperhatikan karakteristik pegawai negeri dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagaimana dibahas dan atas, perlu dicari format yang paling pas agar tugas pokok dan fungsi dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip Good Governance. Agar tidak mudah berubah. format tersebut harus dirumuskan dari potensi internal yang membumi, sehingga uapaya penerapannya dapat dilaksanakan dengan mudah konsisten.
5.1 Visi yang Kuat
Memiliki visi yang kuat sama dengan memiliki kompas yang akurat dalam menempuh berbagai kehidupan. Visi seorang pegawai negeri seharusnya tidak terlepas dari karakteristiknya yang merupakan landasan philosofi bagaimana seseorang dapat menjadi pegawai negeri yang baik.
5.2 Mulai dengan Aksi
5.3 Jaga Irama Semangat Bekerja

6. Bukan Mimpi di Siang Bolong
6.1 Prinsip yang Melekat
6.2 Banyak yang Bisa Dilakukan
6.3 Berusaha Lebih Baik Lagi

Penerapan Prinsip Good Governance di Lingkungan Kerja:
Saat ini saya ditugaskan di bidang Kompetensi dan Kurikulum Keahlian Konstruksi (K4). Bidang ini merupakan salah satu dari empat bidang/ bagian yang ada di Pusat Pembinaan Keahliah dan Teknik Konstruksi, BPKSDM. Dep. PU. Prinsip-prinsip Good Governanace yang teah diterapkan di lingkungan kerja saya adalah sebagai berikut.
1. Partisipasi
· Pembinaan kemitraan dan pengembangan masyarakat di bidang K4
§ Program pembinaan
§ Pedoman teknik pembinaan
§ Pelaksanaan dan pengembangan sistem dan layanan teknis pembinaan
ü Bekerja sama dengan LSM, perguruan tinggi dan pakar
ü Bekerja sama dengan P3A (pengairan)
§ Penyusunan dan diseminasi materi pembinaan
ü Dilaksanakan oleh balai-balai layanan teknis di seluruh Indonesia

· Trilogi SDM penyelenggara IPU
o Aparatur
§ Peningkatan kompetensi fungsional melalui pelatihan
§ Peningkatan kompetensi keahlian melalui pendidikan
o Mitra Kerja
§ Melibatkan mitra kerja dalam rangka pencapaian sasaran yang lebih baik.
o Masyarakat
§ Menggali kebutuhan masyarakat/ stakeholder.
· Materi Ajar Community Base Development disampaikan kepada karyasiswa D3, D4, Magister

2. Penegakan Hukum

· Sosialisasi produk hukum perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan IPU
· Penyususunan norma, standar, pedoman dan manual untuk tertibnya pelaksanaan tugas dan fungsi khusus yang dikaitkan dengan era otonomi daerah dan globalisasi.
· Penyelesaian akar masalah penyimpangan tugas yang diakibatkan oleh kehilangan komunikasi
o Menindaklanjuti sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap perbuatan yang diindikasikan ada penyimpangan/ penyelewengan
· Melakukan pembenahan-pembenahan masalah admnistrasi yang diperlukan
· Diseminasi NSPM kepada seluruh aparatur dan mitra kerja
· Materi ajar yang berlandaskan NSPM agar lulusan lebih siap bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku

3. Transparansi
· Pengembangan sistem informasi, khususnya sistem data base yang dapat diakses oleh seluruh pihak terkait.
· Pemuatan program kerja, rencana kegiatan dan kemajuan pelaksanaan pekerjaan di homepage Pusbiktek
· Penerbitan buletin sebagai media komunikasi seluruh jejaring kerja
· Pertemuan berkala antara pimpinan dengan seluruh staf
o Informasi kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh pimpinan
o Masukan terbuka dari seluruh staf
o Usulan peningkatan kinerja dari seluruh staf
· Pertemuan informal dan pembekalan rohani melalui organisasi KORPRI

4. Kesetaraan

· Memberikan perhatian kepada pihak-pihak yang kurang beruntung:
o Perhatian kepada daerah-daerah yang belum berkembang termasuk kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan kualitas SDM-nya
o Pemberdayaan masyarakat yang miskin dan lemah untuk tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan.
· Pelaksanaan kesetaraan jender dalam tugas dan karir.
· Tekad bersama untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM

5. Daya Tanggap
· Penyelesaian akar masalah yang menimbulkan keresahan, khususnya yang diakibatkan oleh kehilangan komunikasi
· Pengembangan silabus kurikulum yang bersifat dinamis untuk mengakomodasi dinamika perubahan lingkungan strategis

6. Wawasan Ke Depan
· Sosialisasi penghayatan visi dan misi.
· Pengembangan landasan-landasan penyelenggaraan tugas dan fungsi yang bersifat strategis sehingga mampu menjawab tantangan ke depan khususnya yang terkait dengan pengembangan konsep pembangunan manusia seutuhnya.
· Pembukaan program studi sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan ke depan.
· Pengembangan kurikulum dengan landasan yang kuat (sesuai dengan pengembangan landasan di atas) disesuaikan dengan konteks dan lingkungan yang mempengaruhinya.
· Pengembangan konsep diri, khususnya konsep kemandirian, kebersamaan, dan belajar sepanjang hayat.
· Memberikan motivasi kepada staf untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan dinamika perubahan lingkungan strategis.
· Memberikan motivasi kepada karyasiswa untuk siap menghadapi tantangan ke depan melalui pelaksanaan bimbingan dan konseling yang intensif.

7. Akuntabilitas
· Menyelenggarakan tugas dan fungsi sesuai dengan NSPM yang berlaku
o Pengembangan indikator kinerja agar pelaksanaan tugas dan fungsi terukur secara objektif
o Pelaksanaan disiplin anggaran rutin dan pembangunan
· Menyusun program dan kegiatan secara komprehensif, integratif dan fungsional agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

8. Pengawasan
· Pelaksanaan waskat
· Kooperatif dalam pemeriksaan internal dan eksternal
· Melaksanakan prinsip transparansi dengan menindaklanjuti masukan-masukan dari masyarakat.

9. Efisiensi dan Efektivitas
· Mengoptimalkan pemanfaatan dana dan memaksimalkan pencapaian sasaran
· Menyusun harga satuan pekerjaan yang rasional sesuai dengan pasar.
· Pengembangan standar kompetensi
· Peningkatan kemampuan manajemen melalui pembagian tugas (desentralisasi tugas) yang adil dan bertanggung jawab, dan pelatihan dan pendidikan.
o Menugaskan staf untuk mengikuti pendidikan pada program studi yang sesuai tugas dan fungsi lembaga.
· Pengembangan kurikulum program studi berlandaskan kompetensi
· Pengembangan muatan lokal dalam pengembangan kurikulum dan materi ajar
· Pengembangan sistem seleksi penerimaan karyasiswa yang tidak hanya berdasarkan kemampuan intelektualitas.
· Melaksanakan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan stakeholder.

10. Profesionalisme
· Penempatan personil sesuai dengan pengalaman kerja dan keahliannya.
· Meningkatkan layanan kepada stakeholder dan masyarakat.
· Pengembangan kurikulum yang berwawasan kompetensi untuk menjawab gap kompetensi yang terjadi.
· Penyusunan kurikulum program studi bersama-sama dengan perguruan tinggi mitra kerja dan seluruh stakeholders sesuai dengan kebutuhan kimpraswil.
· Penyelenggaraan program bimbingan konseling secara intensif kepada karyasiswa D3, D4, dan Magister, berupa program Student Support Services dan Career Planning Development.
· Melaksanakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi
o Pelatihan Teknik Pembelajaran kepada pengajar
o Pelatihan pelaksanaan good governance
o Pelatihan administrasi dan manajemen penyelenggaraan tugas
Pelatihan penyelenggara bimbingan konseling.

Tuesday, January 23, 2007

PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI MASA DEPAN DI INDONESIA

LATAR BELAKANG
Indikator ekonomi makro Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Dengan mulai pulihnya perekonomian nasional diharapkan pada tahun-tahun mendatang pembangunan infrastruktur dan dunia industri konstruksi pada umumnya dapat bergairah kembali. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kebutuhan teknologi untuk mendukung penyelenggaraan industri konstruksi tersebut dapat berjalan dengan baik sehingga produknya dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat penggunanya sesuai dengan standar yang berlaku.
Pemilihan teknologi konstruksi yang sesuai dengan kebutuhan tidaklah sederhana. Teknologi terkait dengan berbagai dimensi alam dan kehidupan manusia. Lingkup penerapan dan pemanfaatannya pun sangat luas, dari yang sangat sederhana sampai dengan impian masa depan. Departemen Pekerjaan Umum sangat beruntung karena sejak deklarasi kemerdekaan, khususnya sejak dicanangkannya pembangunan lima tahun, telah diberi kesempatan untuk menerapkan berbagai teknologi dengan tingkat kerumitan yang bervariasi.
Produk penerapan teknologi, termasuk di dunia konstruksi, sangat tergantung pada kualitas SDM yang melaksanakannya. Konsistensi produktivitas SDM tergantung pada banyak variabel baik internal maupun eksternal. Salah satu variabel eksternal yang sangat diperlukan adalah tersedianya norma, standar, pedoman, dan manual untuk mendukung penerapan teknologi tersebut sejak tahap perencanaan sampai dengan operasi dan pemeliharaannya. NSPM yang sering diperlukan berupa Code of Conduct dan Standard Practices yang memuat panduan minimum apabila dilaksanakan dalam kondisi normal. Dengan adanya codes dan standards, profesionalisme SDM dapat dilaksanakan secara akuntabel dan auditabel.
Identifikai kebutuhan teknologi masa depan sebagaimana tema yang diambil dalam seminar nasional ini diperlukan untuk pengembangan SDM dan kebutuhan NSPM pendukungnya. Dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi telah diwajibkan bagi setiap tenaga perencana, pelaksana dan pengawas di bidang konstruksi untuk memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi terakreditasi. Pengaturan ini akan lebih meningkatkan jaminan keamanan dan keslamatan bagi setiap pengguna jasa konstruksi. Uji kompetensi dalam proses sertifikasi tentu saja akan mencakup codes dan practices yang berlaku sesuai dengan keahlian atau keterampilan pelaku yang bersangkutan.


TIPIKAL PERMASALAHAN DAN TANTANGAN TEKNOLOGI KONSTRUKSI DI INDONESIA

Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan teknologi pada bidang konstruksi di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Apabila dilihat dari sisi manfaat teknologi bagi penyelenggaraan konstruksi dalam proses pembangunan, permasalahan sekurang-kurangnya dapat dikelompokkan 8 tipikal permasalahan dan tantangan sebagai berikut:
1. Kebutuhan teknologi bangunan konvensional untuk memenuhi kebutuhan dasar infrastruktur
2. Kebutuhan teknologi sederhana/ tepat guna yang dapat langsung digunakan oleh masyarakat awam
3. Kebutuhan teknologi untuk meningkatkan durabilitas/ usia rencana hasil pembangunan konstruksi
4. Kebutuhan teknologi untuk meningkatkan pelayanan sesuai dengan peningkatan kebutuhan masyarakat
5. Kebutuhan teknologi untuk menjawab tantangan keterbatasan ruang terbuka di perkotaan
6. Kebutuhan teknologi untuk menjawab tantangan kondisi dan bentang alam
7. Kebutuhan teknologi untuk menunjukkan ciri-ciri khusus komunitas: negara/ daerah/ kawasan
8. Kebutuhan teknologi untuk menjawab persaingan pasar konstruksi antar negara di masa depan.

PRINSIP PENYELESAIAN PERMASALAHAN

Permasalahan dan tantangan dalam rangka memenuhi kebutuhan teknologi di atas, tergantung pada beberapa aspek yang terkait dengan ketersediaan sumber daya, identifikasi kebutuhan dan penyediaannya, tingkat efisiensi dan efektifitasnya, dan konsistensi dalam penerapannya.
Sumber daya alam atau buatan yang paling sering dibutuhkan dalam konstruksi adalah material. Penerapan teknologi sederhana dan tepat guna diupayakan untuk menggunakan material lokal. Namun tidak selamanya hal ini dapat dilakukan. Diperlukan teknologi tertentu untuk memperbaiki sifat-sifat material. Walaupun teknologi pelaksanaan konstruksinya sederhana namun pengembangan teknologi materialnya memerlukan penguasaan ilmu yang cukup maju . Oleh karena itu, diperlukan codes dan practices agar pelaksana di lapangan dapat langsung menggunakannya di lapangan. Untuk mendukung pengembangan teknologi material, organisasi Departemen PU telah didukung Badan Penelitian dan Pengembangan yang saat ini sudah menghasilkan berbagai NSPM, khususnya di bidang PU. Selain itu, mulai tahun 2006 ini Departemen PU telah bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada untuk mendidik SDM di bidang PU dari seluruh wilayah Indonesia. Kerjasama pendidikan ini diharapakan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan memadai dalam teknologi material.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pemilihan teknologi yang akan diterapkan pada berbagai permasalahan di atas sangat tergantung pada ketersediaan SDM. Pada setiap tahap kegiatan konstruksi dibutuhkan berbagai SDM dengan klasifikasi dan kualifikasi tertentu. Selain SDM pelaku langsung konstruksi, penerapan teknologi konstruksi sering kali membutuhkan kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Dep. PU telah memiliki banyak pengalaman pahit atas penolakan masyarakat yang menyebabkan pelaksanaan proyek terlambat dan menyisakan anggaran pembangunan yang tidak dapat diserap pada waktunya. Untuk itu, organisasi Balitbang PU saat ini telah didukung Pusat Pengkajian Sosial Ekonomi Budaya dan Peran Masyarakat yang telah menghasil berbagai NSPM yang diperlukan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan nonteknis.
Data terkait dengan ketersediaan sumber daya, tenaga konstruksi, kemasyarakatan dan data-data lain yang sering berpengaruh dalam penyelenggaraan konstruksi perlu dikemas dalam suatu sistem informasi yang mudah diakses oleh berbagai pemangku kepentingan. Pembangunan sistem informasi bukan hal yang sederhana. Selain biaya dan keahlian yang memadai, unit kerja pengelola sistem informasi perlu didukung sikap profesional setiap pelakunya khususnya dalam hal kecintaan terhadap profesi, kedisiplinan dan ketekunan. Tentu saja organisasi harus mendukung pengembangan sikap tersebut dengan sistem penghargaan yang setara dengan keahlian lainnya. Pengembangan sistem informasi dalam suatu unit kerja sering tidak efektif karena ketidakjelasan pengembangan karier bagi para pelakunya. Organisasi Dep. PU didukung dua unit kerja setingkat eselon II yang membidangi sistem informasi, yaitu terkait dengan pengolahan data untuk kepentingan pengambilan keputusan dan publikasi kepada masyarakat. Untuk mendukung tugasnya unit kerja tersebut telah dilengkapi dengan website yang relatif mudah diakses oleh setiap pemangku kepentingan.
Yang masih sering terjadi adalah teknologi konstruksi yang disediakan ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Memang tidak mudah memetakan kebutuhan masyarakat yang strukturnya tidak homogen. Yang sering tampak ke permukaan adalah kelompok dominan dalam struktur masyarakat yang tidak selalu mewakili seluruh elemen masyarakat. Identifikasi kebutuhan masyarakat tidak sama dengan identifikasi keinginan masyarakat. Dalam jangka panjang pemenuhan keinginan masyarakat yang tidak didukung dengan kajian yang seksama sering menjadi kurang bermanfaat karena memang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Jalan desa yang selalu beraspal, sistem pengolahan limbah yang memerlukan dukungan peralatan mekanik dan elektrik, bangunan tembok di daerah gempa, dan bangunan nonpanggung di daerah pasang surut adalah sejumlah contoh kekurangberhasilan penerapan teknologi konstruksi. Oleh karena itu dukungan metode sampling sosial sangat diperlukan dalam mendukung kesuksesan pemilihan dan penerapan teknologi konstruksi.
Penerapan teknologi konstruksi yang telah sukses di suatu tempat belum tentu memberikan hasil yang sama jika diterapkan di tempat lain. Monitoring secara sistematik perlu dilakukan agar efektifitas dan efisiensi penerapan teknologi yang telah dipilih dapat dievaluasi.
Permasalahan pemenuhan kebutuhan teknologi seolah-olah sudah terjawab pada awal penerapannya. Tetapi tanpa didukung pengaturan yang adil dan konsisten dalam penegakan aturan tersebut oleh seluruh pemangku kepentingan, manfaat hasil penerapan teknologi tersebut menjadi berkurang dan malahan menimbulkan konflik yang tidak perlu dan berkepanjangan.
Oleh karena itu pemilihan teknologi dalam penyelenggaraan konstruksi harus didasarkan pada nilai efektifitas dan efisiensi. Efektifitas mencakup antara lain fungsi konstruksi, layanan rencana yang akan membebaninya, dampak terhadap lingkungan disekitarnya, dan keberlanjutan pemanfaatan fungsi konstruksi tersebut. Efisiensi mencakup aspek penggunaan material, metoda konstruksi, biaya konstruksi termasuk pra dan pasca dan ketepatan waktu perencanaan dan pelaksanaan. Hanya pada kondisi tertentu, pemilihan konstruksi tidak dimulai dari nilai-nilai efektifitas dan efisiensi, tetapi ada faktor lain nonteknis sehingga ditetapkan suatu konstruksi tertentu. Namun demikian akan selalu tersedia berbagai pilihan teknologi yang paling optimal untuk mendukung pelaksanaan konstruksi yang sudah ditetapkan tersebut.
Untuk mencapai nilai-nilai yang efektif dan efisien, pemilihan teknologi konstruksi dilakukan melalui proses sebagai berikut:
· Setiap penyelenggaraan konstruksi tentu memiliki tujuan tertentu. Konstruksi yang dibangun harus dapat berfungsi sesuai dengan tujuan tersebut. Perencana yang baik harus mampu mengidentifikasi fungsi-fungsi konstruksi yang diharapkan oleh pemilik proyek.
· Selanjutnya berdasarkan pemahaman atas fungsi-fungsi konstruksi, dapat diidentifikasi jenis dan besaran beban layan yang akan dipikul
· Sebelum melakukan pemilihan teknologi perlu dilakukan proses identifikasi kondisi tanah dan lingkungan
· Kemudian dilakukan pemilihan konstruksi dan tenologinya mencakup:
• Pemilihan struktur konstruksi
• Pemilihan material yang sesuai
• Pemilihan sistem fondasi
• Pemilihan metode konstruksi
• Pemilihan sistem modelling
• Manajemen konstruksi dan proyek

LINGKUP DAN PENERAPAN TEKNOLOGI KONSTRUKSI

Konstruksi Konvensional
Konstruksi konvensional adalah konstruksi yang sudah biasa dilaksanakan dan sudah banyak tersedia penyedia jasa konstruksi yang mampu merencanakan dan melaksanakannya. Dalam jangka panjang konstruksi konvensional akan tetap diperlukan karena fungsi konstruksi ini langsung menyentuh kebutuhan dasar manusia untuk menunjang segala kegiatannya.
Teknologi yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan konstruksi konvensional adalah untuk meningkatkan efisiensi dan durabilitasnya. Salah satu yang menjadi kecenderungan saat ini dan mungkin sampai jauh ke masa depan adalah teknologi untuk mendukung industri konstruksi yang menghasilkan secara massal material siap guna, misalnya beton pracetak, paving block, dan rangka atap dan penutupnya. Karena dihasilkan dengan skala industri, harga material konstruksi siap guna tersebut lebih bersaing dan kualitasnya lebih terjamin.
Konstruksi konvensional mencakup:
• Di bidang sumber daya air antara lain: bendungan, waduk, sungai, irigasi, rawa, pantai
• Di bidang transportasi antara lain: jalan dan jembatan, rel kereta api, terminal darat, udara dan laut
• Di bidang permukiman dan perumahan atau keciptakarryaan antara lain: air minum, sanitasi, limbah, sampah, gedung dan perumahan,
• Konstruksi pembangkit dan transmisi elektrik:
• Konstruksi pipa dan tunnel

Teknologi Konstruksi Sederhana/ Tepat Guna
Teknologi konstruksi sederhana adalah teknologi yang sering digunakan pada penyelenggaraan konstruksi dengan fungsi yang terbatas atau hanya memikul beban layan yang relatif ringan. Karena fungsinya terbatas konstruksi ini sering diselenggarakan oleh masyarakat secara swakelola. Namun sayang kualitas penyelenggaraannya sering diabaikan.
Lingkup pasar penyelenggaraan konstruksi sederhana sangat luas. Ketidakpahaman masyarakat sebagai pelaku konstruksi terhadap kualitas menghasilkan produk yang substandar. Secara kumulatif di tingkat nasional, kerugian akibat substandar ini menimbulkan kerugian yang nilainya sangat besar. Oleh karena itu, mulai sekarang pengembangan untuk mendukung penerapan teknologi konstruksi sederhana perlu mendapatkan prioritas. Yang sangat mendesak adalah penyediaan NSPM yang bersifat user friendly sehingga masyarakat dengan mudah memahaminya. Terlihat permasalahannya seperti sederhana padahal untuk menyiapkan NSPM tersebut diperlukan proses yang rumit dan melibatkan keahlian multidisiplin mencakup bidang nonteknik.
Teknologi konstruksi sederhana di masa depan akan diperlukan dalam penyelenggaraan konstruksi di bidang:
• Jalan desa dan pemukiman perumahan
• Jembatan bentang pendek dan jembatan gantung untuk pejalan kaki/ sepeda motor
• Bangunan sederhana tahan gempa dan ramah lingkungan
• Pengolahan air minum dan limbah di perdesaan dan permukiman perumahan yang belum terjangkau oleh layanan pemerintah.
• Konservasi sumber daya air pada kawasan terbatas, irigasi untuk berbagai keperluan pertanian, perikanan dan perternakan.

Peningkatan Durabilitas Konstruksi
Peningkatan durabilitas atau umur layanan konstruksi adalah cita-cita setiap pelaku penyelenggaraan konstruksi yang seharusnya diterapkan pada seluruh aspek penyelenggaraan konstruksi termasuk konstruksi konvensional, sederhana dan khusus.
Peningkatan durabilitas layanan konstruksi dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi software ataupun hardware pada setiap tahap penyelenggaraan konstruksi. Akurasi hasil perencanaan dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk mengkompilasi dan menganalisis data sehingga data yang dijadikan dasar analilsis lebih lengkap dan bervariasi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Teknologi konstruksi dalam proses pelaksanaan sudah banyak dikembangkan untuk berbagai keperluan kegiatan. Pengendalian kualitas pada tahap pelaksanaan yang sebelumnya terasa sulit karena dilakukan secara manual menjadi lebih mudah. Kemudahan di sini terjadi karena didukung oleh tenaga ahli di bidangnya.
Dalam tahap pascapelaksanaan pun teknologi konstruksi sudah berkembang sedemikian rupa baik untuk keperluan pemeliharaan maupun untuk mendukung operasioanl dan sistem pengendaliannya. Sebagaimana kita ketahui sistem pengendalian operasional pemanfaatan konstruksi yang sifatnya terbuka dan karakteristik keruntuhannya berdasarkan fatiq selalu menjadi masalah besar di Indonesia. Apabila terjadi suatu jembatan atau gedung runtuh, sistem pengendalian setelah kejadian tersebut lebih mudah diterapkan karena perhatian masyarakat terfokus pada peristiwa tersebut, Namun untuk jaringan jalan, apabila terjadi keruntuhan konstruksi yang disebabkan beban berulang yang berebihan kurang mendapatkan perhatian. Padahal pengabaian dalam sistem pengendalian ini telah menyebabkan kerugian yang sangat tinggi yang akhirnya dibebankan kepada rakyat juga sebagai pembayar pajak. Teknologi informasi yang sudah berkembang pesat dapat dimanfaatkan untuk mendukung sistem pengendalian yang sifatnya real time sehingga penanganan terhadap gejala keruntuhan dapat segera dilakukan.
Ke depan, teknologi konstruksi yang diperlukan untuk meningkatkan durabilitas layanan konstruksi dapat diterapkan pada aspek sebagai berikut:
• Peningkatan kualitas perencanaan
• Peningkatan kualitas pelaksanaan
• Pengendalian operasi dan pemeliharaan
• Analisis hasil monitoring dan evaluasi sebagai umpan balik dalam penyelenggaraan konstruksi
• Pengembangan penggunaan material dan metoda pelaksanaan disesuaikan dengan karakteristik beban yang akan diterimanya

Teknologi Konstruksi dalam rangka Peningkatan Layanan
Dua isu penting yang terkait dengan peningkatan layanan konstruksi adalah tuntutan konstruksi yang lebih aman dan nyaman, dan pemenuhan atas kebutuhan mobilitas hasil industri.
Kebutuhan teknologi untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan mencakup permasalahan antara lain: pekuatan konstruksi yang sudah ada atau yang mengalami kerusakan, rekayasa material sesuai dengan kebutuhan fungsi konstruksi, dan peningkatan kapasitas jaringan jalan di perkotaan melalui peningkatan fungsi bundaran dan persimpangan tidak sebidang. Banyak jembatan di jalur pantura Pulau Jawa mengalami degradasi, khususnya jembatan yang terbuat dari rangka baja. Malahan sudah terjadi pada beberapa jembatan yang mengalami keruntuhan struktur. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan, penyebab keruntuhan pada rangka baja tersebut selain oleh beban berlebih juga akibat terjadinya vibrasi yang yang menyebabkan resonansi pada struktur jembatan tersebut. Ke depan diperlukan teknologi perkuatan yang tentu saja harus mencakup kedua pembebanan tersebut, yaitu perkuatan untuk mengurangi deformasi struktur rangka jembatan dan meninggikan kondisi frekuensi resonansi struktur agar tidak sama dengan frekuensi kendaraan berat yang sedang berhenti di atas jembatan tersebut. Selain itu tentu saja perlu dilakukan pencegahan dengan manjemen lalu lintas agar dapat dihindari atau dikurangi kendaraan berat berhenti di atas jembatan rangka.
Kebutuhan teknologi untuk meningkatkan kelancaran mobilitas hasil industri mencakup teknologi konstruksi untuk membuat rangka atap pergudangan dengan bentang yang lebih besar, peningkatan kapasitas terminal dan pelabuhan, dan peningkatan kapasitas jalan dan jembatan. Salah satu teknologi konstruksi konstruksi yang diperlukan yang saat ini sudah banyak dimanfaatkan adalah teknologi kantilever dan material buatan yang memilikik karakteristik kekuatan yang tinggi dan ringan.

Teknologi Konstruksi untuk Mengatasi Keterbatasan Ruang di Perkotaan
Karena nilai lahan di perkotaan sangat tinggi dan adanya kecenderungan kebutuhan penghuni kota untuk dekat ke tempat pekerjaannya yang biasanya berada di pusat kota, teknologi yang dipilih untuk menjawab tantangan tersebut biasanya bersifat hightech atau teknologi maju. Pemilihan ini menjadi lebih mudah karena pembiayaan penyelenggaraan konstruksi melibatkan pihak swasta.
Di masa depan kebutuhan teknologi konstruksi untuk mengatasi keterbatasan ruang terbuka di perkotaan mencakup antara lain:
• Gedung bertingkat tinggi untuk permukiman dan perkantoran
• Besmen untuk ruang parkir dan bisnis
• Reklamasi rawa dan pantai untuk perluasan wilayah yang saat ini teknologinya sudah dieterapkan antara lain di Teluk Jakarta, Bandar Lampung, Manado, dan Makasar. Ke depan pemanfaatan teknologi konstruksi ini perlu dikaji kembali dengan seksama mengingat ancaman tsunami yang sudah kita rasakan berdampak luar biasa sebagaimana terjadi di NAD, Nias, dan pantai Selatan Jawa.
• Jalan dan rel layang, subway untuk kelancaran transportasi.
• Metoda konstruksi yang dapat mengurangi gangguan terhadap kegiatan lalu lintas teransportasi perkotaan seperti sistem Sosro Bahu dan sistem jerking dalam pembuatan terowongan di bawah jalan yang volume lalu lintasnya sangat tinggi.

Teknologi Konstruksi untuk Mengatasi Kondisi dan Bentang Alam
Kebutuhan teknologi konstruksi di masa depan mencakup penyelenggaraan konstruksi antara lain:
• Perbaikan tanah dasar di daerah rawa dan tanah bermasalah lainnya
• Bangunan pengaman erosi, longsor, abrasi
• Tunnel di daerah pegunungan dan di bawah laut
• Rumah pompa, pipa dan tunnel
• Bendungan besar
• Jembatan bentang panjang: cantilever, girder box, gantung, cable stayed

Teknologi Konstruksi untuk Memberikan Identitas Daerah dan Komunitas
Kebutuhan teknologi konstruksi terkait dengan arsitektur yang cukup banyak memberikan sentuhan seni dalam konstruksi. Ke depan kebutuhan teknologi ini mencakup penyelenggaraan konstruksi yang mencakup:
• Gedung pencakar langit dengan berbagai bentuk untuk menunjukkan identitas
• Menara, patung, gerbang
• Cable stayed, arch bridge

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan di depan, yang mencakup lingkup konstruksi dan kebutuhan teknologinya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Pemanfaatan teknologi dalam industri konstruksi sangat luas
• Disamping teknologi masa depan, teknologi konvensional, sederhana dan tepat guna akan selalu dibutuhkan
• Pemilihan teknologi konstruksi perlu didukung sistem informasi yang handal
• Penerapan teknologi perlu didukung sistem manajemen konstruksi dan proyek yang handal.
• Teknologi akan tumbuh dengan baik apabila pasar jasa konstruksi berkembang dengan sehat dan kokoh.