Tuesday, January 16, 2007

MENYIKAPI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN

ABSTRAK
Tulisan ini membahas bagaimana menyikapi perbedaan persepsi atas substansi pasal pada undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan. Berdasarkan hasil analisis kualitatif dengan mendeskriptifkan pasal-pasal pada undang-undang tersebut yang terkait dengan pendidikan tinggi kedinasan, alternatif penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan yang dapat dipilih adalah melalui kerjasama kemitraan pendidikan antara departemen pengguna jasa pendidikan dengan perguruan tinggi.

PENDAHULUAN
Sesuai dengan pasal 29 ayat (1) pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Selanjutnya pada pasal yang sama ayat (2) dan (3) dijelaskan fungsi dan cara penyelenggaraan pendidikan kedinasan yaitu untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau LPND yang diselenggarakan melalui pendidikan formal dan nonformal. Walaupun dalam lampiran penjelasan substansi pasal 29 di atas dinyatakan jelas, tetapi pasal tersebut telah menimbulkan polemik diantara pelaku yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan (PTK). Masih terjadi perbedaan interpretasi terhadap terhadap substansi pasal tersebut, khususnya antara pembina pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional dengan penyelenggara PTK di berbagai departemen dan LPND yang disuarakan melalui Asosiasi Pendidikan Tinggi Kedinasan Indonesia (APTKAI) (Wirjatni, 2004).
Polemik tersebut telah menjadi agenda pembahasan di DPR-RI dan malahan telah menjadi wacana publik setelah dimuat di beberapa harian nasional. Berdasarkan pemberitaan tersebut tampaknya pembina teknis pendidikan lebih mengarah kepada cara penyelenggaraan PTK sedangkan penyelenggara PTK lebih menekankan pada fungsi PTK dalam menunjang SDM di lingkungan kerjanya.
Untuk itu, tulisan ini mencoba untuk membahas beberapa alternatif penyelenggaraan PTK yang masih sesuai dengan jiwa substansi pasal 29 di atas.

LANDASAN PEMBAHASAN
Beberapa pasal dalam Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi kedinasan, antara lain sebagai berikut.
1. Pasal 13 ayat (1) menyatakan “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”.
2. Pasal 14 menyatakan “jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi”. Dalam ini, PTK merupakan pendidikan tinggi.
3. Pasal 15 menyatakan “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”. Penyelenggaraan pendidikan keahlian teknik yang merupakan tugas utama Pusat Pendidikan Keahlian Teknik (Pusdiktek), Badan Pengembangan (BP) SDM, Dep. Kimpraswil dapat dikaitkan dengan pendidikan akademik, profesi dan vokasi.
4. Pasal 19 ayat (1) menyatakan “pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
5. Pasal 20 ayat (3) menyatakan “perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
6. Pasal 29 yang khusus mengatur pendidikan kedinasan, isinya sebagaimana dikemukan pada bagian PENDAHULUAN di atas.
7. Pasal 53 ayat ()1 menyatakan “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

PERMASALAHAN
Masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi terkait dengan batasan yang dimuat pada pasal-pasal tersebut di atas antara lain adalah sebagai berikut.
1. Pembina teknis pendidikan beranggapan bahwa lembaga penyelenggara PTK yang saat ini ada di departemen-departemen bukan merupakan badan hukum pendidikan (BHP), sehingga dianggap tidak berhak untuk menyelenggarakan PTK secara mandiri.
2. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 belum cukup memberikan jaminan kesetaraan dalam kemitraan bagi departemen-departemen yang menyelenggarakan kerjasama pendidikan dengan perguruan tinggi dalam rangka meningkatan SDM sesuai dengan bidangnya melalui jalur pendidikan.

RUANG HUKUM YANG TERSEDIA DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI KEDINASAN
Pendidikan kedinasan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendidikan tinggi kedinasan. Pendidikan tinggi didefinisikan dalam pasal 19 UU No. 20/ 2003, sedangkan pendidikan kedinasan didefinisikan dalam pasal 29 ayat (1) dan (2). Sesuai dengan fungsi pendidikan kedinasan, pendidikan kedinasan mempunyai dua sifat (Satori, 2004). Pertama bersifat presevice education yaitu untuk mendidik calon pegawai negeri agar dapat memenuhi persyaratan yang berlaku di lembaga atau instansi yang akan dimasukinya. Yang kedua bersifat inservice education yaitu untuk mendidik pegawai yang sudah bekerja agar kompetensinya sesuai dengan bidang tugas dan jabatan yang didudukinya. Pada dasarnya pengadaan dan pengembangan SDM di lingkungan organisasi merupakan kebutuhan sesuai dengan dinamika internal dan tuntutan eksternal organisasi tersebut. Oleh karena itu, pendidikan kedinasan masih tetap dibutuhkan. Namun, setelah berlakunya undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003, sistem penyelenggaraan pendidikan kedinasan yang selama ini dilaksanakan perlu dikaji kembali.
Sesuai dengan pasal 29 ayat 1, pendidikan kedinasan adalah pendidikan profesi yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dalam penjelasan pasal 20 dinyatakan hanya pendidikan tinggi yang memenuhi syarat yang dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Persyaratan tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah. Mendahului PP yang akan disiapkan, pasal 29 secara tidak langsung menyatakan bahwa PNS disamakan dengan profesi. Pengembangan peran profesi biasanya dilakukan oleh asosiasi profesi terkait, tetapi sampai saat ini belum pernah terdengar adanya asosiasi PNS.
Dalam beberapa hal, pendidikan kedinasan yang dilaksanakan departemen-departemen berbeda dengan pendidikan profesi kedokteran dan hukum melalui program spesialis dan notariatnya. Perbedaan yang paling jelas dalam hal penggunaan kelulusan program studi, pendidikan kedinasan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan internal lembaga, sedangkan pendidikan profesi kedokteran dan hukum sekaligus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan profesi kedokteran dan hukum melibatkan asosiasi profesi terkait.

Terkait dengan pasal 13 ayat 1, penyelenggaraan PTK merupakan jalur pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Sesuai dengan pasal 53, jalur pendidikan formal harus dilaksanakan oleh BHP. Dalam struktur organisasi departemen, BHP merupakan unit kerja eksternal. Pelaksanaan tugas dan fungsi BHP secara hukum di luar kendali pimpinan departemen. Keterlibatan departemen hanya sebatas pembinaan melalui penempatan pejabat departemen di BHP. Perencanaan dan program BHP tidak lagi masuk dalam lingkup tugas dan fungsi departemen yang dilaksanakan melalui biro atau bagian perencanaan, program dan anggaran. Pada dasarnya BHP dituntut mandiri yang dapat langsung berhubungan dengan dengan seluruh lembaga terkait tanpa melalui pimpinan departemen.
Kemandirian menuntut BHP untuk dapat memenuhi sendiri atas kebutuhan anggaran untuk melaksanakan program dan kegiatannya. BHP berbentuk perguruan tinggi negeri mendapatkan anggaran pemerintah di bawah pengendalian Departemen Pendidikan Nasional. Namun, BHP yang khusus menyelenggarakan PTK (BHP-PTK) belum tentu dapat memperoleh anggaran pemerintah melalui departemen yang terkait dengan bidang kedinasannya. Apabila pembiayaan program dan kegiatan BHP-PTK seluruhnya berasal dari peserta didik, BHP ini menjadi tidak berbeda dengan perguruan tinggi swasta. BHP-PTK swasta ini harus mampu bersaing dengan BHP lainnya baik dari negeri maupun swasta. Persaingan menjadi tidak sehat karena keterbatasan input peserta didik yang hanya berasal dari dinas-dinas atau instansi terkait. Jadi dapat diperkirakan eksistensi BHP-PTK swasta ini tidak akan berumur panjang.
Untuk memperluas pangsa input peserta didik, beberapa PTK dapat bergabung membentuk satu BHP-PTK swasta. Dengan karakteristik masing-masing departemen yang berbeda, proses penggabungan tersebut bukan hal yang mudah dan diperkirakan akan semakin menjauhkan keterkaitan departemen dengan BHP-PTK gabungan tersebut.
Dengan demikian, pelaksanaan pasal 13 (1), 29 (1) dan pasal 53 untuk dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi kedinasan secara mandiri sulit dilaksanakan. Dengan kata lain perlu dikembangkan alternatif kerjasama kemitraan antara departemen yang membutuhkan jasa pendidikan dengan perguruan tinggi yang sesuai.
Di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 belum ada pasal-pasal yang mengatur kerjasama kemitraan dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena pemenuhan kebutuhan SDM melalui pendidikan kedinasan tidak dapat ditunda, pengembangan kerjasama pendidikan berdasarkan pada pemahaman karakteristik pendidikan kedinasan. Professor Dr. H. Djam’an Satori, MA dalam acara diskusi “Pengaruh UU Sisdiknas pada Pendidikan Profesional” di Kampus Pusdiktek, menyatakan pengembangan SDM kedinasan harus dilakukan by design sesuai dengan perencanaan pengembangan organisasi (nomothetic decision), dan tidak dilakukan hanya semata-mata atas pertimbangan individu masing-masing pegawai (ideographic decision). Selanjutnya beliau menyarankan pendekatan sistem penyelenggaraan pendidikan kedinasan berikut.



PROSES
INPUT
OUTPUT
SPEC. 1
Potensi Umum
Karakteristik
Kepribadian
SPEC. 2
Kurikulum
Sumberdaya Pendidikan
SPEC. 3
Standar Kompetensi












VISI DAN MISI INSTITUSI PENYELENGGARA
ORGANIZATIONAL DESIGN
JOB STRUCTURE
JOB ANALYSIS:
(Job Description, Job Specification, Man Specification)






Diagram 1: Karateristik Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Kedinasan
(Sumber: Satori, 2004)

Kerjasama kemitraan penyelenggaraan pendidikan kedinasan mengacu pada sistem di atas, perlu dilakukan melalui:
1. Tata kerja ‘corporate organization’ . yaitu tata kerja yang bersifat fungsional , konsultatif, kemitraan, dan koordinatif dalam pengambilan keputusan dan pengaturan komitmen terhadap pelaksanaannya yang melibatkan seluruh pelaku pendidikan terkait. Oleh karena itu tata kerja corporate organization perlu didukung jejaring kerja.
2. Power/ resource sharing, tidak terbatas pada sumber pendanaan, tetapi mencakup pemikiran dan penyusunan konsep penyelenggaraan termasuk kurikulum.
3. Pelaksanaan quality assurance dengan memperhatikan ketentuan akreditasi dan standar kompetensi.

Sejak tahun 1998, pendekatan penyelenggaraan pendidikan kedinasan oleh Departemen Kimpraswil melalui Pusat Pendidikan Keahlian Teknik yang berada di bawah Badan Pengembangan SDM, telah diubah dari pendekatan penitipan peserta didik menjadi pendekatan kerjasama kemitraan dengan perguruan tinggi nasional. Mengacu pada PP 60/ 1999, sebutan untuk seluruh jenjang program studi adalah pendidikan profesional. Namun, UU 20/ 2003 tidak lagi menjelaskan terminologi pendidikan profesional. Penyebutan program studi kerjasama kemitraan Pusdiktek dengan perguruan tinggi masih mengalami kesulitan. Penerapan pasal 20 dengan menyebutkan pendidikan kerjasama di Pusdiktek adalah pendidikan profesi atau vokasi kurang tepat, karena kerjasama pendidikan mencakup jenjang diploma (vokasi) dan magister (setara dengan profesi). Oleh karena itu masih diperlukan dukungan pengaturan agar realisasi UU 20/ 2003 melalui penyelenggaraan pendidikan kerjasama kemitraan dapat dipayungi untuk lebih menjamin kesetaraan dalam kemitraan.

KESIMPULAN
Penyelenggaraan pendidikan kedinasan masih diperlukan untuk memenuhi pengembangan SDM kedinasan yang dilakukan secara dinamis sesuai dengan perencanaan organisasi. Salah satu alternatif penyelenggaraan PTK yang sesuai dengan ketentuan undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 adalah melalui kerjasama pendidikan kemitraan dengan perguruan tinggi yang sesuai. Agar pelaksanaan kerjasama dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, perlu didukung landasan hukum yang dituangkan dalam pasal-pasal peraturan pemerintah yang saat ini sedang disiapkan.

Pustaka:
1. Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Satori, Djam’an, Prof. DR., M.A., 2004, makalah pada diskusi Pengaruh Undang-Undang 20 Tahun 2003 terhadap Pendidikan Kedinasan.
3. Wirjatmi, Endang Tri L, DR, M.Si., 2004, Penyelenggaraan Pendidikan Kedinasan STIA-LAN, makalah pada diskusi Pengaruh Undang-Undang 20 Tahun 2003 terhadap Pendidikan Kedinasan.
* Ir. Yaya Supriyatna, M.Eng.Sc sekarang menjabat Kepala Bidang Teknik Pendidikan, Pusdiktek, BPSDM.

No comments: